Minggu, 25 Januari 2015

Sejarah dan Arti Lambang Negara Indonesia



Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950. Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.

Sejarah
       Arca Raja Airlangga digambarkan sebagai Wishnu mengendarai Garuda. Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II masih menampilkan bentuk tradisional Garuda yang bertubuh manusia. Garuda Pancasila yang diresmikan penggunaannya pada 11 Februari 1950, masih tanpa jambul dan posisi cakar di belakang pita. Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuna paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.
       Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.
            Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah
            Lambang Garuda juga digunakan di jersey Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.
            Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
            Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.  Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
            Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.[4] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.
Deskripsi dan arti filosofi                           
                       Pancasila Perisai.svg
Garuda
  • Garuda Pancasila sendiri adalah burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
  • Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan dan kejayaan.
  • Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.
  • Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:
    • 17 helai bulu pada masing-masing sayap
    • 8 helai bulu pada ekor
    • 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
    • 45 helai bulu di leher
Perisai
  • Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
  • Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
  • Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaan Indonesia "merah-putih". Sedangkan pada bagian tengahnya berwarna dasar hitam.
  • Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila. Pengaturan lambang pada ruang perisai adalah sebagai berikut.
  1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam.
  2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah.
  3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih.
  4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai berlatar merah dan
  5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.
Pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
  • Kedua cakar Garuda Pancasila mencengkeram sehelai pita putih bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam.
  • Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata "bhinneka" berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, kata "tunggal" berarti satu, kata "ika" berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Masjid Agung Tanara



            Masjid Agung Tanara adalah sebuah masjid yang terletak di Kampung Tanara, kecamatan Tanara, kabupaten Serang, Banten. Masjid ini merupakan peninggalan Raja Banten Pertama, yaitu Sultan Maulana Hasanuddin, yang memerintah kesultanan Banten tahun 1552 hingga 1570.
Umumnya, orang hanya menganggap bahwa masjid tersebut adalah peninggalan Syekh Nawawi, karena lokasina bersampingan dengan rumah kelahirannya. Tokoh sufi itu hidup di Tanara saat wilayah Banten dijajah kolonial Belanda, yaitu antara tahun 1813 hingga 1897. Padahal, masjid tersebut merupakan peninggalan Raja Banten pertama, taitu Sultan Maulana Hasanuddin, yang memerintah Kesultanan Banten tahun 1552 hingga 1570. Masjid ini seakan luput dari perhatian ahli sejarah. Begitu pun dengan publik. Banyak media hanya mengupas sisi peninggalan Syekh Nawawi, namun luput mengupas sejarah masjid ini sebagai jejak dakwah Islam di tanah Banten.
     Memang, tak ada prasasti yang menyebutkan bahwa masjid ini didirikan Sultan Maulana Hasanuddin. Bahkan, masyarakat sekitar Tanara sendiri mengait-kaitkan bangunan ibahdah ini dengan dunia spiritual. Di sana berkembang asumsi bahwa masjid ini dibangun oleh jin. Tanpa arsitek, perencanaan dan bahan bangunan. Asumsi ini kemudian terbantahkan ketika seorang wakil ketua Masjid Agung Tanara bernama Syibromalisi, menyebutkan bahwa masjid ini didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin dan bukan oleh jin seperti asumsi yang selama ini berkembang. Ia juga bisa membuktikan bahwa masjid ini termasuk tua dan bersejarah.
          Pertama, arsitektur dan aksesoris yang terdapat di masjid ini mirip dengan Masjid Agung Banten. Kemungkinan, sang raja memerintahkan seorang arsitek dari China untuk membangun masjid ini. Bahkan, masjid ini tergolong lebih dulu dibangun daripada Masjid Agung Banten yang terletak di Banten Lama. Sebab, Masjid Banten didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, putra Sultan Maulana Hasanuddin dari pernikahannya dengan Nyi Ayu Kirana. Dia memipin kerajaan Banten usai sepeninggal ayahnya. Namun begitu, tak ada yang bisa memastikan tahun berapa tepatnya masjid ini dibangun. Tidak ada petunjuk sejarah yang menyebutkan. Yang pasti, masjid ini didirikan semasa Sultan Maulana Hasanuddin memeimpin pemerintahan di Banten. Kalau ditilik dari data sejarah, Hasanuddin menjadi Sultan Banten tahun 1552 hingga 1570. Mungkin, antara jeda waktu itulah masjid ini dibangun. Kedua, di dekat masjid terdapat makam putra Hasanuddin, yaitu Pangeran Sunyararas, hasil pernikahan dengan putri dari Demak. Selain, Pangeran Sunyararas, dari pernikahan ini pula Hasanuddin dikaruniai beberapa anak, yaitu Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, dan Ratu Kamudarage. Jadi, adalah logis jika masjid ini didirikan Sultan Maulana Hasanuddin, karena letak makam Pangeran Sunyararas tak jauh dari masjid, yaitu hanya sekitar 300 meter. Ketiga, di bagian atas dinding pintu masuk serambi bagian dalam masjid terdapat itga ukiran batu bergambar lambang kerajaan, yaitu ukiran mirip ujung tombak, ukiran mirip burung garuda, dan ukiran mirip pisau. Semuanya simbol kerajaan Banten yang bisa kita temui di komplek makam Sultan Maulana Hasanuddin di Banten Lama. Disamping itu, secara umum, arsitektur dan aksesoris masjid juga tak jauh beda dengan Masjid Agung Banten. Keempat, masjid ini dikelola dengan menggunakan hasil tanah sawah yang berasal dari wakaf raja pertama Banten. Hingga kini, tanah wakaf tersebut dikelola pengurus masjid dan hasilnya untuk biaya operasional masjid. Dulu, menurut cerita, pemerintah Banten mewakafkan tanah sawah lebih dari satu hektare untuk keperluan masjid. Kini, luas tanahnya bertambah mencapai 12 hektare, setelah mendapatkan wakaf dari warga. Setiap tahunnya, hasil sawah mencapai sekitar Rp50 juta-an.
          Syibromalisi memaklumi bila masjid tua ini luput dari perhatian publik. Sebab, masjid ini tidak dijadikan objek penelitian para ahli sejarah. Bahkan, di beberapa buku sejarah di Banten tidak mencantumkan masjid ini sebagai objek peninggalan kerajaan Islam. Kendati begitu, ia berharap bahwa keberadaan masjid ini dapat menambah khazanah Islam di bidang ilmu sejarah.
          Masjid Agung Tanara berdenah segi empat dengan tempat imam yang menonjol sedikit ke depan. Masjid ini terbagi atas lima bagian, yaitu bagian dalam masjid, serambi dalam, serambi kanan, serambi kiri, dan kolam wudhu. Luas bangunan utama, yaitu bangunan aslinya sekitar 15x15 meter. Bagian ini menghubungkan pintu masuk bagian dalam dengan pintu masuk bagian luar. Dulu, bagian ini merupakan halaman masjid.
          Di bagian utama masjid terdapat mihrab khutbah yang terbuat dari kayu. Benda tersebut masih asli. Tingginya mencapai 4 meter. Mimbar ini memiliki kuncup yang mirip dengan kuncup bangunan Masjid Agung Banten. Bahkan, bentuknya hampir sama dengan mimbar khutbah di Masjid Agung Banten. Hal istimewa lainnya adalah mihrab imam (pengimaman). Bagian ini termasuk peninggalan Sultan Maulana Hasanuddun, karena dia sendiri yang mendirikan. Tingginya hanya 165 cm. Pendek sekali. Namun begitu, meski terlihatp pendek, setiap jamaah yang menjadi imam salat pasti bisa masuk ke dalam. Pasalnya, setinggi apapun seseorang, bila menjadi imam salat, ia bisa masuk ke ruang pengimaman. Dari sini mungkin ada makna filosofis. Yang pasti, posisi kepala dan mata dianjurkan mengarah ke bawah tempat sujud. Kita diajarkan untuk tidak mengarahkan pandangan ke depan saat salat.
          Masjid ini telah mengalami pemugaran sekitar dua kali, yaitu sekitar tahun 1990 dan 2001. Ada beberapa bagian yang direnovasi dan ditambah. Salah satu bagian yang direnovasi adalah bagian kondtruksi atau atau kuncup massjid. Semula, kuncup masjid anya satu seperti Masjid Agung Banten. Masyarakat kemudian merubahnya menjadi tiga kuncup yang lebih kecil. Meski kuncup tersebut diubah, tiang penyangga masjid tidak diganti. Pemugaran tidak menghilangkan unsur-unsur historis dari masjid ini. Ada banyak bagian yang masih utuh. Salah satunya adalah bagian pintu masjid. Ada lima pintu di bagian depan dan dsua bagian di samping. Bentuknya pendek dan rendah. TIngginya kurang dari dua meter. Untuk melewati pintu, seseorang harus sedikit membungkukkan badan. Pendeknya pintu ini sama dengan pintu di Masjid Agung Banten. Hal ini sarat dengan makna pesan filosofis. Orang yang masuk masjid diharuskan sedikit membungkukkan badan sebagai bentuk rasa rendah diri bila akan menghadap Allah. Di masjid ini juga tak luput dari penambahan luas bangunan. Di antaranya di bagian pendopo samping kiri maupun kanan. Penambahan ini dimaksudkan untuk menampung jamaah yang kian banyak, terutama bila perayaan Haul (peringatan tahunan wafat) Syekh Nawawi tiba. Jamaah yang datang dipastikan membludak.