MENYELAMATKAN BAHASA DAERAH MELALUI PENGAJARAN
Loyalitas bahasa
penutur bahasa daerah terhadap bahasanya mengalami penurunan, terutama pada
ranah keluarga. Padahal, dari keluargalah, terutama, anak memperoleh bahasa
itu. Kondisi ini perlu diatasi. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan upaya
melalui pengajaran. Alternatif pertama, terutama dari TK sampai dengan kelas
III SD, bahasa daerah perlu dijadikan bahasa pengantar pembelajaran. Di samping
itu, sebagai alternatif kedua, di dalam pengajaran bahasa daerah itu sendiri,
perlu diterapkan pendekatan komunikatif. Melalui salah satu atau kedua cara
itu, akan tercipta lingkungan baru penggunaan bahasa daerah sebagai pelengkap
atau pengganti lingkungan penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga.
Lingkungan baru inilah yang akan menciptakan input untuk anak maupun mendorong
terciptanya out put dari anak yang keduanya diperlukan bagi terjadinya
pemerolehan bahasa daerah. Hanya saja, untuk melakukan upaya pertama, bahasa
daerah perlu dikembangkan lebih lanjut. Sementara, untuk melakukan upaya kedua,
fokus pengajaran bahasa daerah perlu dibatasi, di samping perlunya peningkatan
mutu guru bahasa daerah yang telah ada dan pengadaan guru bahasa daerah yang
baru melalui pendidikan formal.
Ketika dua
atau lebih bahasa bersanding dalam pemakaiannya di masyarakat, ada dua kemungkinan
yang dapat terjadi. Pertama, kedua bahasa itu hidup berdampingan secara
berkeseimbangan dan memiliki kesetaraan. Kedua, salah satu bahasa menjadi lebih
dominan, menjadi bahasa mayoritas, dan menjadi lebih berprestise, sementara
yang lain berkondisi serba sebaliknya, bahkan terancam menuju kepunahannya.
“Rapid change often occurs when there is extensive bilingualism, which can lead
to one language being lost altogether” (Anonby, 1999). Kemungkinan kedua
menjadi kenyataan di Indonesia dalam kaitan dengan bersandingnya bahasa
Indonesia dan bahasa-bahasa daerah.
Kemungkinan
akan punahnya suatu bahasa dicemaskan oleh banyak pihak. Berangkat dari
keprihatinan akan matinya banyak bahasa, UNESCO (dalam Purwo, 2000)
mencanangkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional pada suatu
konferensi bulan November 1999 dan mulai merayakannya sejak tahun 2000. Ada
alasan mendasar mengapa kepunahan suatu bahasa sangat dikhawatirkan. Bahasa
memiliki jalinan yang sangat erat dengan budaya sehingga keduanya tidak dapat
dipisahkan (Reyhner, 1999). Karena begitu eratnya jalinan antara bahasa dan
budaya, Dawson (dalam Anonby, 1999) mengatakan, tanpa bahasa, budaya kita pun
akan MATI. Hal ini bisa terjadi karena, sebagaimana dikatakan oleh
Fishman (1996), bahasa adalah penyangga budaya; sebagian besar budaya
terkandung di dalam bahasa dan diekspresikan melalui bahasa, bukan melalui cara
lain. Ketika kita berbicara tentang bahasa, sebagian besar yang kita bicarakan
adalah budaya.
Untuk
menghambat atau mencegah laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di
Indonesia, berbagai upaya pemertahanan dilakukan, termasuk melalui
lembaga pendidikan. Pertanyaan yang muncul, kemudian, adalah dapatkah
bahasa-daerah diselamatkan dari kepunahannya melalui pengajaran? Menurut
penulis, jawabannya adalah “dapat”. Untuk membuktikan hal itu, akan dilakukan
pembahasan dengan sistematika (1) lingkungan bahasa dan pengaruhnya terhadap
penguasaan bahasa, (2) kondisi pemakaian bahasa daerah di Indonesia saat ini, dan (3) pilihan
penyelamatan bahasa daerah.
Ø Lingkungan
Bahasa dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Bahasa
Lingkungan bahasa adalah bahasa yang
ada di sekitar anak, baik yang keberadaannya bersifat alamiah maupun yang
keberadaannya karena disengaja. Berdasarkan hal itu, lingkungan bahasa dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: lingkungan bahasa alamiah (informal) dan
lingkungan bahasa tidak alamiah (formal) (Huda, 1999). Jika fokus
pembicara adalah isi komunikasi, lingkungan bahasa itu disebut alamiah; jika
fokus pembicara adalah bentuk bahasa, lingkungan bahasa itu disebut tidak
alamiah (Dulay dan Burt, 1982). Lingkungan bahasa informal pada umumnya
ada di luar kelas. Akan tetapi, lingkungan semacam ini juga ada
di dalam kelas. Dikatakan demikian karena, seperti
dikemukakan di atas, lingkungan bahasa informal adalah lingkungan
penggunaan bahasa untuk tujuan-tujuan komunikasi. Sebagaimana kita ketahui, di
dalam kelas, bahasa pada umumnya digunakan untuk tujuan komunikasi, yakni
menyajikan atau mendiskusikan materi pelajaran. Sebaliknya, lingkungan bahasa
formal adanya terutama di dalam kelas, khususnya di kelas bahasa, dalam bentuk
pengajaran formal kaidah-kaidah bahasa.
Kedua lingkungan bahasa itu
berpengaruh terhadap percepatan penguasaan bahasa oleh anak. Namun demikian,
pengaruh yang diberikan oleh kedua jenis lingkungan bahasa itu berbeda-beda
(Huda, 1999). Untuk menjelaskan hal itu, dua hipotesis dari Ellis (dalam Huda,
1999) perlu dikemukakan di sini, yaitu: hipotesis non-interface dan
hipotesis interface. Kedua hipotesis itu berbeda dalam hal tipe pengetahuan
linguistik, yakni: pengetahuan eksplisit dan pengetahuan implisit, dan
interaksi antara keduanya. Pengetahuan linguistik eksplisit ditunjukkan oleh
adanya kesadaran akan kaidah-kaidah bahasa. Pengetahuan linguistik
implisit ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan wacana yang sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa tanpa adanya kesadaran akan kaidah-kaidah itu.
Menurut para pendukung hipotesis
non-interface, bahasa dikuasai oleh anak karena adanya lingkungan bahasa formal
dan lingkungan bahasa informal. Dari yang pertama, anak mempelajari bahasa;
sementara dari yang kedua, anak memperoleh bahasa. Pemerolehan memiliki peranan
sentral dalam kaitannya dengan kemampuan anak memproduksi wacana,
sementara pembelajaran hanya membantu sebagai monitor. Fungsi utama monitor
adalah meningkatkan keakuratan bahasa yang diproduksi. Tidak ada cara mengubah
pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan implisit. Ini berarti bahwa belajar
gramatika tidak secara langsung meningkatkan penguasaan bahasa, sehingga dengan
demikian, yang lebih memberi kontribusi kepada perkembangan penguasaan bahasa
anak adalah lingkungan bahasa informal. Sebagaimana dikatakan oleh Dulay dan
Burt (1982), lingkungan bahasa alamiah tampak meningkatkan perkembangan
keterampilan komunikasi. Secara jelas, pemajanan yang alamiah kepada suatu
bahasa memicu terjadinya pemerolehan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa
itu secara bawah sadar.
Tentang bagaimana bahasa dikuasai
secara informal, melalui pemerolehan, dijelaskan oleh sebuah hipotesis yang
disebut Hipotesis Input. Hipotesis ini dikemukakan oleh Karshen dan Terrel
(1984). Menurut hipotesis ini, anak tidak mempelajari bahasa, tetapi memperoleh
bahasa. Bahasa itu diperoleh melalui pemahaman atas masukan bahasa yang sedikit
lebih sulit dripada bahasa yang telah dikuasai oleh anak, yang diterima dari
penggunaan bahasa di sekitarnya, apakah itu bahasa lisan atau bahasa tulis.
Dengan demikiam, menyimak dan membaca merupakan dua hal penting dalam rangka
memperoleh bahasa. Sementara, berbicara dan menulis, menurut hipotesis
ini, akan tumbuh dengan sendirinya pada diri anak, begitu mereka memiliki
kompetensi yang didapat melalui masukan yang dipahami. Tumbuhnya keterampilan
menulis telah terbukti lebih dipicu oleh banyaknya aktivitas membaca yang
dilakukan atas inisiatif sendiri daripada oleh pengajaran keterampilan menulis
yang disengaja (Krashen, dalam Ellis, 1990).
Pendukung hipotesis interface
berpendapat bahwa pengetahuan linguistik eksplisit dan pengetahuan linguistik
implisit bukanlah merupakan dua hal yang sepenuhnya terpisah. Pengetahuan
linguistik eksplisit dapat berubah menjadi pengetahuan linguistik implisit;
demikian juga sebaliknya. Menurut Bialystock (dalam Huda, 1999), praktik,
misalnya, merupakan mekanisme untuk mengubah pengetahuan linguistik yang
eksplisit menjadi pengetahuan linguistik implisit. Karena adanya mekanisme
pengubahan semacam ini, baik pengetahuan linguistik eksplisit maupun
pengetahuan linguistik implisit dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu:
lingkungan bahasa informal dan lingkungan bahasa formal. Dengan demikian, kedua
lingkungan bahasa itu memiliki peranan yang sama dalam meningkatkan penguasaan
bahasa oleh anak.
Jika kedua hipotesis di atas
dicermati, tampak ada kesamaan (Huda, 1999). Kesamaan itu terletak pada
dukungan akan kuatnya peranan pengetahuan linguistik implisit. Hipotesis
non-interface secara jelas menunjukkan dukungan ini. Hipotesis interface secara
tidak langsung menyatakan bahwa pengetahuan linguistik eksplisit memberikan
kontribusi secara tidak langsung kepada kemampuan komunikasi.
Ø Kondisi
Pemakaian Bahasa Daerah di Indonesia Saat Ini
Oleh orang Indonesia, dewasa ini ada
sekurang-kurangnya tiga bahasa yang mereka kenal dan/atau mereka pakai, yaitu:
bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah.
Bahasa Inggris umumnya dikenal melalui lembaga pendidikan, formal atau
nonformal. Melalui pendidikan formal, Bahasa Inggris, secara umum mulai
diperkenalkan (diajarkan) sejak jenjang SLTP. Namun, sekarang ini muncul
fenomena bahasa Inggris mulai diperkenalkan di jenjang sekolah dasar, bahkan di
taman kanak-kanak. Melalui pendidikan nonformal, bahasa Inggris diperkenalkan
di berbagai lembaga kursus bahasa. Selanjutnya, bahasa yang telah mereka kenal
itu mereka gunakan untuk berbagai keperluan. Ada yang menggunakan bahasa itu
untuk kepentingan pendidikan. Namun, ada juga yang menggunakan bahasa itu untuk
kepentingan berusaha, khususnya di bidang pariwisata yang menjadi salah satu
bidang andalan beberapa daerah di Indonesia yang kaya akan daerah tujuan
wisata.
Bahasa Indonesia diperkenalkan dan
digunakan di semua provinsi di Indonesia terutama sebagai akibat dari
provinsi-provinsi itu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sebagaimana diketahui, bagi NKRI, bahasa Indonesia memiliki dua
kedudukan, yakni: sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara (Halim,
1981). Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejumlah fungsi.
Pertama, sebagai bahasa resmi kenegaraan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini,
bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan
kenegaraan, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Semua dokumen dan
keputusan, serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga
negara lainnya ditulis di dalam bahasa Indonesia.
Kedua, sebagai bahasa resmi di dalam
perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta pemerintahan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa
Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai alat perhubungan antarderah, antarsuku,
dan di dalam masyarakat yang berlatar belakang bahasa dan budaya yang sama.
Ketiga, sebagai bahasa pengantar
resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini,
bahasa Indonesia digunakan di dalam pembelajaran di taman kanak-kanak, di
sekolah dasar, di sekolah lanjutan tingkat pertama, di sekolah menengah, dan di
perguruan tinggi. Keempat, sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam hubungannya dengan
fungsi ini, bahasa Indonesia digunakan untuk mengembangkan kebudayaan nasional
dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Sementara itu, bahasa daerah
diidealkan memiliki sejumlah fungsi juga. Fungsi-fungsi itu adalah: (1) alat
komunikasi intraetnis, (2) sarana menunjukkan keakraban, (3) sarana menunjukkan
identitas daerah dan kebanggaan daerah. Dengan fungsi-fungsi itu,
diharapkan bahasa daerah dipakai secara murni dalam ranah keluarga,
ketetanggaan dan kekariban (antaranggota etnis yang sama), ranah adat, dan
ranah agama.
Namun, kenyataan yang ada ialah
pemakaian bahasa daerah telah terkontaminasi oleh pemakaian unsur-unsur bahasa
Indonesia dan mengalami pergeseran. Hal semacam ini terungkap, antara
lain, melalui penelitian Sutama dan Suandi (2000) yang berjudul
Loyalitas-Bahasa Penutur Bahasa Bali terhadap bahasanya. Penelitian ini
menggunakan rancangan deskriptif-kualitatif. Melalui penelitian ini,
dikumpulkan data tentang penggunaan bahasa pada tiga ranah, yakni: ranah
keluarga, ranah adat, dan ranah agama, dengan menggunakan kuesioner, observasi
partisipan, dan wawancara, pada masing-masing satu desa dan satu kelurahan di
empat kabupaten di Bali, yaitu: Buleleng, Klungkung, Badung, dan Tabanan. Ada
96 responden dari tiga kelompok umur, yaitu: anak-anak (15-20), dewasa (21-60),
dan orang tua (61 tahun ke atas), yang tersebar secara merata di kedelepan
situs, yang dilibatkan; sejumlah peristiwa tutur yang diobservasi, dan sejumlah
informan diwawancarai. Semua data ini, kemudian, dianalisis secara induktif.
Hasilnya adalah seperti berikut ini.
Pada ranah keluarga, yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara
murni adalah lima responden dari kelompok anak-anak, dua di pedesaan dan
tiga di perkotaan, lima belas responden dari kelompok dewasa, enam di pedesaan
dan sembilan di perkotaan, sembilan responden dari kelompok orang tua, empat di
pedesaan dan lima di perkotaan. Jadi, ada 29 responden (30,21%) yang tidak lagi
menggunakan bahasa Bali secara murni, dari 96 responden dalam penelitian ini.
Fenomena ketidakmurnian penggunaan bahasa Bali dalam ranah keluarga yang terungkap
melalui jawaban atas pertanyan-pertanyan dalam kuesioner mendapat pembenaran
dan penguatan dari hasil observasi pada kedelapan situs. Pembenaran yang lebih
mencemaskan diperoleh dari Majalah Sarad, Nomor 14, Februari 2001. Di sana
diungkapkan, “Keluarga-keluarga di perkotaan, termasuk di kawasan desa di
pinggir kota, sehari-hari sangat kentara lebih suka memilih berbahasa Indonesia
dengan anak-anak mereka, entah keluarga itu dari lapisan ekonomi dan pendidikan
kelas atas, menengah, atau bawah.” Hal yang sama terjadi pula di lingkungan
penulis yang merupakan kompleks perumahan di pinggir barat Kota Singaraja.
Pada ranah adat, yang mengaku tidak
lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah tiga responden dari kelompok
anak-anak, ketiganya di pedesaan, lima responden dari kelompok dewasa, satu di
pedesaan dan empat di perkotaan, dua responden dari kelompok orang tua,
keduanya di perkotaan. Dengan demikian, dari 96 responden, ada 10 responden
(10,42%) yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni dalam
ranah adat. Sebagaimana dalam ranah keluarga, fenomena dalam ranah adat ini
juga didukung oleh hasil observasi pada semua situs penelitian.
Pada ranah agama, yang mengaku tidak
lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah tiga responden dari kelompok
anak-anak, ketiganya di pedesaan, lima responden dari kelompok dewasa, dua di
pedesaan dan tiga di perkotaan, satu responden dari kelompok orang tua di
perkotaan. Jadi, ada sembilan responden (9,38%) dari 96 responden yang mengaku
tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni. Kondisi ini tidak sejalan
dengan hasil observasi. Hasil observasi atas peristiwa tutur pengorganisasian
kegiatan di pura, persembahyangan, dan dharma wacana menunjukkan wacana-wacana
dalam ranah agama bersih dari penyisipan unsur-unsur bahasa Indonesia. Bisa
jadi, pengakuan responden di atas berkaitan dengan penggunaan bahasa Bali di
luar peristiwa tutur pengorganisasian kegiatan di pura, persembahyangan, dan
dharma wacana (kotbah), seperti dharma tula (diskusi agama), misalnya.
Fenomena pergeseran tidak hanya
menimpa bahasa Bali, tetapi juga bahasa daerah lainnya di Indonesia, seperti
bahasa Jawa dan bahasa Lampung. Dalam kasus bahasa Jawa, misalnya, Mustakim
(1996) menemukan bahwa kalangan generasi muda Jawa perantauan di Jakarta kurang
akarab atau kurang bersikap positif terhadap bahasa Jawa. Demikian juga halnya
dengan generasi muda Jawa di Surabaya. Oetomo (dalam Mustakim, 1996), melalui
penelitiannya di lingkungan perumahan KPR/BTN, menemukan gejala pergeseran pemakaian
bahasa Jawa pada penghuninya yang kebanyakan merupakan pindahan dari daerah
perkampungan ke tengah kota. Temuan Suparno (1996) melengkapi temuan ini.
Ditemukan bahwa dalam keluarga muda Jawa, telah terjadi pergeseran yang sangat
cepat dalam hal penggunaan bahasa Jawa oleh bahasa Indonesia. Dalam kasus
bahasa Lampung, kondisinya lebih gawat. Gunarwan (dalam Purwo, 2000), melalui
penelitian sosiolinguistiknya, mendapatkan bukti kuantitatif yang sangat
meyakinkan bahwa bahasa Lampung dapat punah dalam perkiraan waktu 75-100 tahun
lagi.
Ø Pilihan
Penyelamatan Bahasa Daerah
Dari
temuan yang telah disebutkan di depan, yang paling mengkhawatirkan adalah
terjadinya pergeseran penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga.
Kekhawatiran itu muncul karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan bahasa
informal paling utama, tempat semestinya anak pertama kali dan dalam waktu yang
paling lama memperoleh bahasa daerah. Di dalam keluargalah bisa terjadi
transmisi bahasa lintas generasi yang berguna bagi pemertahanan bahasa daerah
(Reyhner, 1999). Jika pergeseran itu terus-menerus terjadi, ke depan,
penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga semakin sulit untuk diharapkan
menjadi penopang lestarinya bahasa daerah. Oleh karena itu, perlu dipikirkan
cara lain untuk menciptakan lingkungan bahasa untuk menyelamatkan bahasa daerah
dari kepunahannya. Cara itu adalah (1) mewajibkan penggunaan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar sejak di taman kanak-kanak sampai dengan di kelas tiga
sekolah dasar pada daerah-daerah yang dimungkinkan dan (2) mengajarkannya
sebagai mata pelajaran dengan dengan pendekatan komunikatif.
Ø Penggunaan
Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar Pembelajaran
Ada
beberapa alasan mengapa penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam
pengajaran ditawarkan. Alasan pertama berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pendidikan dan kebudayaan termasuk bidang
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam bab IV, pasal 7 UU Nomor 22,
Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, “kewenangan daerah
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, militer dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain”. Bahkan, bidang pendidikan dan kebudayaan
merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sebagaimana disebutkan dalam pasal 11,
ayat 2, bab IV UU itu. Dengan demikian, menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar di lembaga pendidikan tidak begitu menjadi masalah bagi
pemerintah daerah karena merupakan bagian dari kewenangannya. Dalam bab VII, UU
Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 33, tentang
bahasa pengantar disebutkan bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan nasional
adalah bahasa Indonesia (ayat 1); namun, bahasa daerah dapat digunakan sebagai
bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu (ayat 2).
Alasan
kedua berkaitan dengan upaya “memaksa” orang tua untuk menggunakan bahasa
daerah ketika berkomunikasi dengan anaknya di dalam keluarga/di rumah.
Sementara ini, salah satu alasan para orang tua suku Bali menggunakan bahasa
Bali yang diselipi unsur-unsur bahasa Indonesia, atau, bahkan bahasa Indonesia
secara murni di rumah adalah agar anak-anak mereka bisa berbahasa Indonesia
untuk kepentingan komunikasi dalam situasi tertentu (Sutama dan Suandi, 2000).
Bisa jadi situasi tertentu yang dimaksud adalah pembelajaran di lembaga
pendidikan yang memiliki kecenderungan kuat untuk menggunakan bahasa Indonesia
sejak di taman kanak-kanak sebagai bahasa pengantarnya. Dugaan ini masuk akal
karena siapa pun akan khawatir kalau anak-anaknya tidak bisa mengikuti kegiatan
belajar di kelas karena tidak bisa menguasai bahasa pengantar yang digunakan.
Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran di kelas akan mendorong para orang tua untuk membiasakan anak-anak
mereka berbahasa daerah di rumah sebelum memasuki dunia sekolah.
Alasan
ketiga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teoretis. Peristiwa pembelajaran
adalah suatu peristiwa interaksi yang, sekurang-kurangnya, berlangsung antara
guru dan siswa. Interaksi, dalam hal ini, sudah pasti bermediakan bahasa. Jika
bahasa daerah diwajibkan untuk dijadikan bahasa pengantar di dalam
pembelajaran, tentu di dalam interaksi itu bahasa daerahlah yang digunakan. Ini
berarti bahwa peristiwa pembelajaran menjadi kaya dengan lingkungan bahasa
daerah informal yang sangat diperlukan dalam rangka anak memperoleh bahasa
daerah itu. Sebagaimana dikatakan oleh Fishman (1996), sekolah merupakan tempat
yang sangat penting bagi penggunaan beberapa aspek bahasa.
Tentang
pentingnya interaksi dalam pemerolehan bahasa dikemukakan oleh Ellis
(1990). Dikatakan bahwa interaksi dapat dihipotesiskan berkontribusi pada
pemerolehan bahasa melalui dua cara. Pertama, melalui resepsi dan pemahaman
anak atas bahasa yang digunakan oleh guru. Teori belajar bahasa berdasarkan
resepsi sangat menekankan pentingnya input. Hipotesis frekuensi menyatakan
bahwa anak memperoleh ciri-ciri linguistik sesuai dengan frekuensinya sebagai
input. Semakin sering suatu ciri linguistik didengar oleh anak, semakin cepat
ciri itu dikuasai oleh anak. Kedua, melalui upaya anak memproduksi bahasa
itu di dalam peristiwa pembelajaran. Swain (dalam Ellis, 1990) mengajukan
hiotesis output. Hipotesis ini menyatakan bahwa anak memerlukan kesempatan
untuk memproduksi bahasa dalam rangka mengembangkan tingkat profisiensi
gramatikanya. Hal ini ternyata didukung oleh Ellis. Menurut Ellis (1990),
output sangat penting bagi terjadinya pemerolehan bahasa. Dengan demikian, jika
bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam pembelajaran, niscaya
penguasaan bahasa daerah oleh anak akan dapat ditingkatkan. Ada contoh tentang keberhasilan strategi
pemertahanan bahasa daerah melalui penggunaannya di dalam pengajaran bidang
studi. Contoh itu adalah yang dilakukan oleh The Rock Point Community School
dalam pemertahanan bahasa Navajo (Reyhner, 1999). Di situ, dua per tiga dari
aktivitas “belajar” di TK dan setengah aktivitas belajar di kelas I sampai
dengan kelas III menggunakan bahasa Navajo sebagai bahasa pengantar
pembelajaran. Sementara, dari kelas IV sampai dengan kelas XII bahasa Navajo
hanya digunakan dalam seperlima sampai seperempat waktu pembelajaran.
Ø Pengajaran
Bahasa Daerah dengan Pendekatan Komunikatif
Pengajaran
bahasa, sebagaimana pengajaran pada umumnya, berkaitan dengan banyak aspek,
seperti: hakikat dan fungsi hal yang diajarkan, tujuan pengajaran, pemilihan
dan pengembangan bahan pengajaran, penciptaan pengalaman belajar, media dan
sumber belajar, dan model penilaian. Pendekatan komunikatif memiliki prinsip
berikut ini tentang semua itu (Suyono dan Muslikh, 1996). Bahasa adalah
alat untuk menyampaikan pesan atau alat komunikasi yang memiliki banyak
variasi. Tujuan pengajaran bahasa adalah menumbuhkan performansi komunikatif
yang handal, sesuai dengan kebutuhan komunikasi yang dimiliki oleh siswa. Untuk
menumbuhkan hal itu, diperlukan bahan yang merupakan wacana otentik. Pemilihan
dan pengembangan bahan itu perlu disertai dengan penciptaan pengalaman belajar
yang, memberikan kesempatan kepada siswa untuk (1) terlibat dalam
peristiwa berbahasa yang bermakna, (2) menggunakan bahasa secara aktual,
dan (3) memungkinkan siswa memanfaatkan berbagai ragam bahasa. Pengalaman
belajar yang diciptakan itu perlu didukung dengan media dan sumber belajar yang
(1) memberikan pengalaman langsung kepada siswa untuk belajar berbahasa, (2)
berupa fakta atau peristiwa berbahasa yang aktual, (3) sesuai dengan
kemungkinan tuntutan berbahasa siswa, dan (4) bervariasi baik wujud maupun
ragamnya. Akhirnya, pelaksanaan pembelajaran perlu dievaluasi dengan model evaluasi
yang (1) dapat mengukur secara langsung kemahiran berbahasa siswa, (2)
mendorong siswa aktif berlatih berbahasa, dan (3) merangsang secara
terus-menerus teraktualisasikannya performansi komunikatif.
Dengan
sejumlah prinsipnya, penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa
daerah akan membawa akibat seperti berikut ini. Bahasa daerah akan dipandang
sebagai sistem penyampai pesan yang memiliki fungsi komunikatif. Berkaitan
dengan hal itu, keberadaan bahasa daerah dengan berbagai variasi ragamnya akan
dihormati di dalam pengajaran dan orientasi pengajarannya akan menjadi lebih
pada fungsi komunikasi daripada pada bentuk dan struktur. Pengajaran bahasa
daerah akan diarahkan menuju ke pemilikan performansi komunikatif oleh siswa
yang dilandasi oleh pemilikan kompetensi komunikatif. Untuk mencapai tujuan
itu, dalam pengajaran bahasa daerah akan digunakan bahan-bahan pengajaran yang
berupa wacana otentik, sehingga mampu mendukung terwujudnya performansi
komunikatif pada diri siswa. Di samping itu, akan dipilih juga media pengajaran
yang sejalan dengan bahan pengajaran yang ditetapkan untuk mendukung penciptaan
pengalaman belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk (1) terlibat
dalam peristiwa berbahasa daerah yang bermakna dan (2) menggunakan bahasa
daerah dengan berbagai ragamnya secara aktual. Dalam mengevaluasi
pengajarannya, di dalam pengajaran bahasa daerah akan dilakukan pengukuran
langsung terhadap kemahiran siswa berbahasa daerah sehingga mereka terdorong
untuk berlatih menggunakan bahasa daerah secara lisan maupun tertulis. Hal ini
dengan sendirinya akan merangsang siswa secara terus-menerus
mengaktualisasikan performansi komunikatifnya dalam bahasa daerah.
Akhirnya, jika bahasa daerah diajarkan dengan menerapkan
pendekatan komunikatif, lingkungan baru pemakaian bahasa daerah akan tercipta
sebagai pelengkap atau pengganti lingkungan pemakaian bahasa daerah di dalam
keluarga yang secara terus-menerus mengalami penyusutan. Menurut Anonby (1999),
immersion language teaching environments merupakan satu dari lima karakteristik
penting upaya pemertahanan bahasa yang berhasil, sebagaimana terbukti pada
pendidikan prasekolah di New Zealand.
Berdasarkan
uraian di atas, simpulan dapat ditarik. Dengan mencermati teori pemerolehan bahasa,
melihat situasi pemakaian bahasa daerah di Indonesia dewasa ini, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pilihan yang ada untuk menyelamatkan bahasa
daerah dari kepunahannya adalah berikut ini. Pertama, menggunakannya
sebagai bahasa pengantar, sekurang-kurangnya, mulai dari jenjang taman
kanak-kanak sampai dengan sekolah dasar kelas tiga. Untuk mengemban tugas itu,
pengembangan bahasa daerah merupakan sesuatu yang harus dilakukan.
Kedua,
mengajarkannya dengan pendekatan komunikatif. Untuk melakukan hal ini, beberapa
hal perlu dicermati. Karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk pengajaran
bahasa daerah ( dua sampai tiga jam pelajaran seminggu), perlu ditetapkan fokus
pengajaran. Saran penulis adalah, pengajaran bahasa daerah difokuskan pada
penumbuhan keterampilan berbicara dan membaca dengan alasan berikut ini.
Pertama, di dalam aktivitas berbicara, dengan sendirinya akan ada aktivitas
menyimak. Kedua, bertolak dari salah satu teori pemerolehan bahasa, aktivitas
berbahasa reseptif akan mendorong tumbuhnya kemampuan berbahasa produktif
secara alami: aktivitas membaca yang tinggi akan menumbuhkan kemampuan menulis
karena, selama membaca, secara sadar atau tidak, pembaca juga
mengidentifikasi karakteristik wacana tulis yang mereka hadapi (Squire, 1989).
Karena banyak guru yang mengasuh pelajaran bahasa daerah bukan berlatar
belakang pendidikan bahasa daerah, perlu dilakukan upaya peningkatan mutu guru
bahasa daerah yang telah ada dan pengembangan jurusan pendidikan bahasa daerah
pada daerah-daerah yang belum memilikinya untuk menghasilkan guru mata
pelajaran bahasa daerah melalui pendidikan formal. Menurut survei The Assembly
of First Nation (AFN) tahun 1990 (Burnaby, 1996), kekurangan guru terlatih
merupakan salah satu masalah besar dalam pengajaran bahasa daerah
(aboriginal language).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar