- Sejarah Pendidikan Multikultural
Dalam sejarahnya, pendidikan
multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong,
namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong
kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika
karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai
kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau
asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang
Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami
praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi
pada tahun 1960-an.
Di antara lembaga yang secara
khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah
lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang
menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan
menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis,
para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang
pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari
konseptualisasi pendidikan multikultural.
Secara generik, pendidikan
multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan
persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis,
kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep
pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta
diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari
kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci
dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak
adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan
terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan
terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan
kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan
hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh
terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Ø Refleksi
Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan merupakan hal yang
sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia, karena dengan pendidikan
manusia membentuk kepribadian yang berkualitas. Pendidikan tidak hanya bisa
dilakukan didalam lembaga pendidikan (sekolah) namun pendidikan juga bisa
dilakukan diluar sekolah dan tanpa batas waktu atau berlangsung seumur hidup.
Berbagai masalah yang timbul di
negara kita, Indonesia, banyak dikarenakan adanya ketidakberagaman budaya yang
memang pada dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar
belakang sosial budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata
pencaharian dan lain-lain. Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya
menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan
keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya.
- Pengertian Pendidikan Multikultural
Multikultural berasal dari dua
kata yaitu Multi dan Kultul, multi artinya banyak dan kultul artinya budaya.
Menurut para ahli
- Gibson(1984) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses pendidikan yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
- Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya adalah pendidikan yang bersifat anti rasis, yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia, yang penting bagi semua murid, yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan, mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan social, yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
- Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur). Secara lebih singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman budaya. Menurut James. A. Banks pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup pengalaman sosial identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
- Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Pendidikan Multikulturalis adalah pendidikan yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural.
- Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan.
- Sedangkan Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Multikultural adalah berbagai macam status social budaya meliputi latar
belakang, tempat, agama, ras, suku dll.
Jadi pendidikan multikultural adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari
tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
Untuk
membentuk warga negara yang berpendidikan multikultural tidaklah mudah, banyak
tahap dan prosedur yang harus dilaksanakan dalam membentuk masyarakat yang
berpendidikan multikultural Indonesia, antara lain:
1. Menyiapkan
materi atau kurikulum pelajaran yang mengagungkan perbedaan budaya.
2. Menyiapkan
kurikulum yang mempelajari tentang budaya suku lain mulai dari tari
tradisional, sastra, hasil kerajinan suku lain di Indonesia dan lain-lain.
3. Menyiapkan
kurikulum yang tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
4. Menyiapkan
materi yang berasaskan nilai moral untuk menanamkan sikap menghargai orang,
budaya, agama dan keyakinan lain.
5. Membangun
monumen maupun museum disetiap daerah untuk dijadikan penelitian budaya daerah
tersebut dan dapat dijadikan tambahan bahan acuan materi pelajaran
6. Membuka
lapangan kerja seluas-luasnya untuk memproduksi hasil kerajinan tangan yang
menjadi ciri khas budaya daerah.
7. Pemerataan
pendidikan multikultural untuk sekolah baik dari lembaga pendidikan pemerintah
maupun swasta bahkan untuk sekolah-sekolah internasional yang mempunyai
kurikulum sendiri yang mengacu pada kurikulum negara lain.
8. Pemerataan
pendidikan multikultural bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa meliat status
sosialnya.
9. Mengembangkan
potensi peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan sosial
budaya dengan kemajuan IPTEK.
10. Mempercepat
proses hak paten semua hasil kebudayaan agar tidak diklain negara lain dan
sebagainya.
11. Pendidikan
multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan
pandangan dan perspektif banyak orang.
12. Pendidikan
multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal
terhadap kebenaran sejarah.
13. Kurikulum
dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang
kebudayaan yang berbeda-beda.
14. Pendidikan
multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas
pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
15. Pendidikan
multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan
perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan
budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Hal-hal seperti diatas tidak lepas
dari campur tangan pemerintah RI agar dapat berjalan lancar dan membawa hasil
positif dan dapat membawa dampak yang baik (kemajuan) bagi bangsa.
C. Pengembangan
Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
Pengembangan pendidikan Islam, dalam
arti i’adah, ibanah dan ihya dengan maksud
reaktualisasi, revitalisasi, refungsionalisasi dan reevektifity
sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak.
Berbagai model pengembangannyapun telah banyak digagas, namun berbagai ikhtiyar
tersebut hingga kini belum sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana diharapkan.
Pada ranah empiris, implementasi pendidikan Islam baik di sekolah maupun di
perguruan tinggi belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap
perubahan prilaku peserta didik, padahal salah satu tujuan utama pendidikan Islam adalah terjadinya
perubahan baik pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way
of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada peserta
didik.
Tingginya angka dekadensi moral dan
prilaku tercela seperti free seks, miras, narkoba, kekerasan, tawuran,
eksklusifisme, kurangnya toleransi dan penghargaan terhadap orang lain dalam segala
bentuknya yang melibatkan siswa dan mahasiswa merupakan indikator nyata dari belum
efektifnya fungsi pendidikan Islam yang selama ini dijalankan. Maka tak heran jika pada akhirnya
banyak orang mempertanyakan sejauhmana efektifitas pendidikan Islam bagi
peningkatan kesadaran dan perubahan prilaku peserta didik baik secara
individual maupun sosial kultural. Pertanyaan ini wajar mengingat secara
teoritis, pendidikan diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang paling
berpengaruh mewarnai, mengontrol dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam hidup kesehariannya.
Diantara model pengembangan
pendidikan Islam yang telah dirintis oleh sejumlah pakar adalah model
pengembangan berbasis multikultural, yakni sebuah model pengembangan yang fokus
pada pentingnya
penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan paedagogis terhadap
semua orang (equal
for all) yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan, serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga
terwujud suasana toleran, demokratis,
humanis,
inklusif, tentram dan
sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun etnik,
status sosial, agama dan jenis kelaminnya. Pendidikan Islam
berbasis multikultural adalah proses penanaman sejumlah
nilai islami yang relevan
agar peserta didik dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan
menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya
Model ini
dianggap relevan dengan ajaran Islam dan entitas keberadaan masyarakat
Indonesia yang multikultur. Sebagai risalah profetik, Islam
pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind)
tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama, hal ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama
(dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun
sawa’) antara kami dan kamu… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan
hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah manifesto dan gerakan yang
mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity)
sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok
multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity). Bahkan jauh sebelum adanya istilah multikultural ini, secara
konseptual dan realitas sejarah, Islam adalah
agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah,
Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad saw
memelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin
Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan kebebasan beragama
dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem, tahun 636
M.
Disisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara dengan
potensi multikultural terbesar di dunia, menyadari hal itu, guna merekatkan
keragaman yang ada, sekaligus menghindari deviding factor dari
berbagai keragaman tersebut, para pendiri bangsa perlu mengadaptasi dan menetapkan
konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa yang terdapat dalam buku
Sotasoma karya Empu Tantular sebagai paradigma dan cara berprilaku dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari konteks ini maka pendidikan Islam
diharapkan dapat menjadi salah satu pilar penyangga bagi kerukunan umat
yang beraneka ragam (uniting factor), sehingga tidak saja berfungsi
sebagai fondasi integritas nasional yang kokoh tetapi juga menjadi fondasi
pengayom keberagaman yang hakiki.
Multikulturalisme sejatinya bukan wacana baru, ia telah
muncul pasca perang dunia II dan semakin mendapat respon dari masyarakat
terutama di negara-negara yang menganut konsep demokratis termasuk Indonesia
tatkala terjadi berbagai bentuk ketidak adilan dan diskriminasi atas sejumlah
masyarakat baik secara individual maupun institusional, baik dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan bahkan agama. Di barat, gerakan
multikultural awalnya dipelopori oleh John Stuart (asal Prancis), dan
dilanjutkan oleh Charles Taylor (asal Kanada) tatkala lembaga pendidikan
mendapat sorotan tajam karena telah gagal menghargai identitas budaya dari
warga negaranya. Sistem dan lembaga pendidikan kemudian dituntut untuk
melakukan rekonstruksi konsep yang sebelumnya sentralistik birokratik berbasis
kekuasaan kearah demokratik transparan berbasis partisipatoris, dari sinilah
pendidikan multikultural mulai berkembang pesat.
Di tanah air, perkembangan pendidikan
multikultural tidak dapat dilepaskan dari peran penting Ki Hajar
Dewantoro, dalam salah satu tulisannya, beliau menyebutkan bahwa
tidak ada warga negara yang kelas satu atau kelas dua, semuanya mempunyai hak
dan kewajiban yang sama dalam pendidikan. Mereka memiliki kebebasan untuk
berekspresi serta bebas dalam menetukan dalam pendidikan. Karena itu dinyatakan dengan tegas
bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan
secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman
suku (etnis), ras, agama dan budaya yang dikemas melalui kesadaran dan
penghormatan yang tinggi terhadap segala perbedaan demi terciptanya tatanan
masyarakat demokratis, pluralis, humanis dan inklusif.
Masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan
ini adalah lemahnya rasa kebangsaan, persatuan dan kebersamaan di sementara
kalangan, kasus-kasus masa lalu dan masa kini yang berkisar pada konflik etnis,
agama, kewilayahan dan politik vertikal horizontal merupakan contoh nyata
gejala yang memprihatinkan ini, karena itu diperlukan upaya sistematik
untuk membangun kesadaran pluralistik dan multikulturalistik pada seluruh
lapisan masyarakat. Sangat mendesak “membumikan” pendidikan Islam berwawasan multikultural,
sebab kesadaran akan pentingnya kemajemukan dan multikulturalisme diharapkan
dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.
Kesadaran diatas pada gilirannya akan menghantarkan
masyarakat pada tahap kedewasaan sikap yang dengan lapang dada menerima
keanekaragaman sebagai sunnatullah. Keterbukaan kepada yang lain (an openees
towards the other) pada gilirannya selain memberi arahan untuk membangun
suatu sikap, etos dan pandangan dunia yang egaliter guna membentuk horizon
kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain,
juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan dan kebahagiaan
sejati.
Terdapat ragam redaksi tentang definisi
pendidikan multikultural, tetapi intinya bahwa pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang melatih
dan membangun karakter peserta didik agar memiliki sikap demokratis, humanis,
dan pluralis serta berpandangan positif dan apresiatif menyikapi perbedaan-perbedaan
kultur menyangkut etnis, agama, bahasa, gender, ras, kelas sosial, usia, dan
sebagainya menjadi sesuatu yang lebih potensial di masyarakat sehingga terjadi pengurangan atau
penghapusan berbagai bentuk diskriminasi dan prejudis demi membangun
kehidupan masyarakat yang adil dan tenteram.
Pendidikan multikultural sejatinya merupakan wacana lintas
batas, sebab ia terkait erat dengan masalah-masalah keadilan sosial,
demokrasi dan hak asasi manusia. Minimal terdapat tiga nilai yang menjadi dasar
pendidikan multikultural yakni : Apresiasi terhadap adanya realitas
pluralitas budaya dalam masyarakat, Pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan
hak asasi manusia, dan Pengembangan masyarakat dunia yang adil dan
egaliter. Tujuan utamanya adalah untuk memahami perbedaan yang ada pada
sesama manusia, serta bagaimana perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah
(sunnatullah), dan tidak menimbulkan tindak diskriminasi yang
termanifestasi pada pola sikap iri, buruk sangka dengki dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan Islam berwawasan multikultural dapat
diterapkan melalui : orientasi muatan kurikulum dan orientasi reformasi
unit pendidikan. Pada orientasi muatan kurikulum, dapat dimasukkan
materi-materi tentang : (1) keragaman (agama, etnik dan kultur masyarakat), (2)
harmoni kehidupan bersama, (3) toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, (4)
kerjasama, saling menghargai dan memahami. sebagai bahan ajar yang dapat
mencairkan kebekuan pemikiran (state of mind) peserta didik dalam
merespons keanekaragaman. Sedangkan pada orientasi reformasi unit pendidikan,
setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya
mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua
anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai orang
lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit oleh
seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Diantara prinsip pendidikan Islam berbasis multikultural,
adalah prinsip humanitas, unitas dan kontekstualitas yang meliputi : penanaman
kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan kultur
serta agama yang ada, penanaman semangat relasi antar manusia dengan spirit
kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai
perbedaan dan keunikan agama-agama, serta menerima perbedaan-perbedaan dengan
pikiran terbuka demi terciptanya perdamaian dan kedamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar