A. Pengertian
Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 20 Tahun 2003, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Pengertian pendidikan yang dikemukakan para ahli
batasannya sangat beranekaragam. Perbedaan tersebut mungkin karena
orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau
karena falsafah yang melandasinya. Berikut ini beberapa pengertian pendidikan
yang dapat menjadi rujukan bagi kita. Pendidikan dari segi bahasa dapat
diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula
pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan
sebagainya) badan, batin dan sebagainya (Poerwadarminta, 1991:150). Pendidikan
dari segi istilah kita dapat merujuk kepada berbagai sumber yang diberikan para
ahli pedidikan. Dalam Undang-Undang sistem pendidikan Nasional (UU RI No. 20
th. 2003, pasal 1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Menurut M.J. Langeveld (1999) pendidikan adalah
memberi pertolongan secara sadar dan segaja kepada seorang anak (yang belum
dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri
dan bertanggung jawab susila atas segala tindakantindakannya menurut pilihannya
sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya
untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), fikiran
(intellect) dan dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan
agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik selaras.
Zamroni memberikan definisi pendidikan
adalah suatu proses menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan
tentang hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan barang yang
benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, sehingga kehadirannya
ditengah-tengah masyarakat akan bermakna dan berfungsi secara optimal (Zamroni,
2001:87). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan
usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia
seutuhnya agar ia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional
dan optimal. Istilah pendidikan dalam Islam berasal dari bahasa Arab yaitu
tarbiyah yang berbeda dengan kata ta’lîm yang berarti pengajaran atau teaching
dalam bahasa Inggris. Kedua istilah (tarbiyah dan ta’lîm) berbeda pula dengan
istilah ta’dzîb yang berarti pembentukan tindakan atau tatakrama yang
sasarannya manusia. Walaupun belum ada kesepakatan di antara para ahli, dalam
kajian ini yang dimaksud pendidikan Islam adalah al-tarbiyah, istilah bahasa
Arab yang menurut penulis dapat meliputi kedua istilah di atas.Hal yang sama
dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa pendidikan dengan seluruh totalitasnya
dalam konteks Islam inhern dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lîm dan ta’dzîb
yang harus dipahami secara bersama-sama. Dari pemaparan diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa pendidikan Islam berarti usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara sesuai dengan ajaran Islam.
Rumusan ini sesuai dengan pendapat Endang Saefudin Anshari yang dikutip Azra
bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan oleh pendidik terhadap
perkembangan fisik dan psikis siswa dengan bahan-bahan materi tertentu dengan
metoda tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya
pribadi tertentu sesuai dengan ajaran Islam.
B. Visi,
Misi, Fungsi, Tujuan dan Strategi
Pendidikan Nasional Sistem pendidikan nasional
adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. UUSPN dari No. 2 tahun 1989 diganti UU No.
20 tahun 2003, dilakukan dalam rangka memperbarui visi, misi dan strategi
pendidikan nasional. Pembaruan sistem pendidikan nasional mencakup penghapusan
diskriminasi antara pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Visi
pendidikan nasional adalah memberdayakan semua warga negara Indonesia, sehingga
dapat berkembang menjadi manusia berkualitas yang mampu bersaing dan sekaligus
bersanding dalam menjawab tantangan zaman. Misi pendidikan nasional adalah:
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi
anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka
mewujudkan masyarakat belajar.
c. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses
pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
d. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas
lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan, ilmu pengetahuan, keterampilan,
pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
e. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks NKRI.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional
tersebut, maka fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan potensi-potensi peserta didik yang menjadi manusia beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Strategi
pendidikan nasional adalah:
a. Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia.
b. Pengembangan dan pelaksanaan kurkulum berbasis
kompetensi.
c. Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis.
d. Evaluasi, akreditasi dan sertifikasi pendidikan
yang memberdayakan.
e. Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga
kependidikan.
f. Penyediaan sarana belajar yang mendidik.
g. Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip
pemerataan dan berkeadilan.
h. Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan
merata.
i. Pelaksanaan wajib belajar.
j. Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan.
k. Pemberdayaan peran masyarakat.
l. Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat.
m. Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan
nasional.
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap
perubahan zaman. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tercantum dalam UU No.
20 tahun 2003 bab II pasal 3.
C. Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan
a. Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa.
b. Pendidikan diselenggarakan sebagai
satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
c. Pendidikan diselenggarakan sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat.
d. Pendidikan diselenggarakan dengan
member keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran.
e. Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat.
f. Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan.
D.
Kelembagaan dan Pengelolaan Pendidikan
Kelembagaan
program dan pengelolaan pendidikan
merupakan bagian dari sistem pendidikan secara keseluruhan.
1.
Jalur
pendidikan Dalam UU No. 20 tahun 2003 Pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur
pendidikan terdiri dari pendidikan formal, non-formal dan informal.
2.
Jenjang
pendidikan
Jenjang pendidikan
adalah tahapan pendidikan yang diterapkan berdasarkan tingkat perkembangan
peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 14, jenjang pendidikan formal terdiri atas:
·
Pendidikan
dasar (SD dan SMP, MTS) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar
(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang
sederajat.
·
Pendidikan
menengah (SMA, MA, SMK, MAK)
o
Pendidikan
menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar
o
Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan
o
Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain
yang sederajat.
·
Pendidikan
tinggi ( akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, universitas) Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup
program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doctor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan
sistem terbuka.
3.
Jenis
pendidikan Menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 15, jenis pendidikan mencakup:
a. Pendidikan umum => Pendidikan
dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh
peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
b. Pendidikan kejuruan => Pendidikan
menengah yang mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dalam bidang tertentu.
c. Pendidikan akademik => Pendidikan
tinggiyang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan
tertentu (program sarjana dan pascasarjana).
d. Pendidikan profesi => Pendidikan
tinggi yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki pekerjaan
dengan persyaratan keahlian khusus.
e. Pendidikan vokasi => Pendidikan
tinggi yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki pekerjaan
dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
f. Pendidikan keagamaan => Pendidikan
dasar, menengah dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan tentang ajaran
agama atau menjadi ahli ilmu agama.
g. Pendidikan khusus => Pendidikan
yang diselenggarakan bagi peserta didik yang berkelainan atau peserta didik
yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif.
4.
Kurikulum
Ketentuan mengenai kurikulum diatur dalam UU no.20 tahun 2003 pasal 36, 37, dan
38. Pasal 36:
1)
Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2)
Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta
didik.
3)
Kurikulum
disusun dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan: a.
b. c. d. e. f. g. h. i. j. Peningkatan iman dan taqwa. Peningkatan akhlak
mulia. Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik. Keragaman
potensi daerah dan nasional. Tuntutan pembangunan daerah
dan nasional. Tuntutan dunia kerja. Perkembangan Ipteks. Agama. dinamika
perkembangan global. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Pasal 37: (1) Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: Pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, baahsa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, Pendidikan jasmani
dan olahraga, keterampilan atau kejuruan, muatan lokal. Pasal 38: (1) Kerangka
dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh
pemerintah. (2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai
dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk
pendidikan menengah. (3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan untuk setiap program studi. (4) Kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk setiap
program studi.
E. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Dengan Rahmat Tuhan Yang
Maha Esa PresidenRepublik Indonesia
Menimbang:
a.
Bahwa
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
b.
Bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
akhlak mulia dalam bangsa yang diatur dengan undang-undang
c.
Bahwa
sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan
untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan
d.
Bahwa
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak
memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan
amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
e.
Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengingat: Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia Memutuskan : Menetapkan: Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1)
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
2)
Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dantanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3)
Sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4)
Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu.
5)
Tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6)
Pendidik
adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain
yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan.
7)
Jalur
pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi
diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8)
Jenjang
pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang
dikembangkan.
9)
Jenis
pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan
suatu satuan pendidikan.
10) Satuan pendidikan adalah kelompok
layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal,
nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11) Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12) Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang.
13) Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan.
14) Pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15) Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan
yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan
berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media
lain.
16) Pendidikan berbasis masyarakat adalah
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya,
aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan
untuk masyarakat.
17) Standar nasional pendidikan adalah
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
18) Wajib belajar adalah program pendidikan
minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
19) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
20) Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21) Evaluasi pendidikan adalah kegiatan
pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai
komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
22) Akreditasi adalah kegiatan penilaian
kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan.
23) Sumber daya pendidikan adalah segala
sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga
kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
24) Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri
yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
25) Komite sekolah/madrasah adalah lembaga
mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah,
serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
26) Warga Negara adalah Warga Negara
Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27) Masyarakat adalah kelompok Warga Negara
Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang
pendidikan.
28) Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29) Pemerintah Daerah adalah Pemerintah
Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
30) Menteri adalah menteri yang bertanggung
jawab dalam bidang pendidikan nasional.
Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan
Pasal 2 Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bab III Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan Pasal
4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai
satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3)
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan.
Bab IV Hak dan Kewajiban Warga
Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal
5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus. (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. (2) Setiap
warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Orang Tua Pasal 7 (1) Orang tua
berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi
tentang perkembangan pendidikan anaknya. (2) Orang tua dari anak usia wajib
belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Bagian Ketiga Hak dan
Kewajiban Masyarakat Pasal 8 Masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 10 Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing,
membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun.
Bab V Peserta Didik Pasal 12 (1) Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;b. mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c.
mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan
pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; f. menyelesaikan program
pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang
dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. (2) Setiap peserta didik
berkewajiban: a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan
proses dan keberhasilan pendidikan; b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Warga negara asing
dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Ketentuan mengenai hak dan
kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bab VI Jalur, Jenjang,
dan Jenis Pendidikan Bagian Kesatu
Umum Pasal 13 (1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal,
dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. (2) Pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka
melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Pasal 14 Jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pasal 16 Jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Bagian Kedua
Pendidikan Dasar Pasal 17 (1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan
yang melandasi jenjang pendidikan menengah. (2) Pendidikan dasar berbentuk
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat
serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk
lain yang sederajat. (3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Bagian Ketiga Pendidikan Menengah Pasal 18 (1) Pendidikan menengah
merupakan lanjutan pendidikan dasar. (2) Pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat. (4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 19 (1) Pendidikan tinggi
merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. (2) Pendidikan tinggi diselenggarakan
dengan sistem terbuka. Pasal 20 (1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. (2) Perguruan tinggi
berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. (3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik,
profesi, dan/atau vokasi. (4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Pasal 21 (1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan
pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu
dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program
pendidikan yang diselenggarakannya. (2) Perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar
akademik, profesi, atau vokasi. (3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya
digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan
gelar akademik, profesi, atau vokasi. (4) Penggunaan gelar akademik, profesi,
atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan
singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan. (5)
Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi
yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan. (6) Gelar akademik,
profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dinyatakan tidak sah. (7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak
memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap
individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar
biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan,
kebudayaan, atau seni. Pasal 23 (1) Pada universitas, institut, dan sekolah
tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (2) Sebutan guru besar atau profesor hanya
dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di
perguruan tinggi. Pasal 24 (1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. (2) Perguruan tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat. (3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat
yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. (4)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Pasal 25 (1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan
untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (2) Lulusan perguruan
tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi,
atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya. (3) Ketentuan
mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Pendidikan Nonformal Pasal 26 (1)
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal
meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan
kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4)
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi
masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup,
dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha
mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6)
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan. (7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan
nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian
Keenam Pendidikan Informal Pasal 27 (1) Kegiatan pendidikan informal yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. (2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama
dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai
dengan standar nasional pendidikan. (3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil
pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Pendidikan Anak Usia Dini Pasal 28 (1)
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. (2)
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan/atau informal. (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau
bentuk lain yang sederajat. (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau
bentuk lain yang sederajat. (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan
oleh lingkungan. (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pendidikan Kedinasan Pasal 29 (1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan
profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah
nondepartemen. (2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan
keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai
negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. (3) Pendidikan
kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. (4)
Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian
Kesembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 (1) Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5)
Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh Pasal 31 (1) Pendidikan
jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan. (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan
kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap
muka atau reguler. (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai
bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta
sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional
pendidikan. (4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pasal 32 (1) Pendidikan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. (2) Pendidikan layanan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau
terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,
bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. (3) Ketentuan mengenai
pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bab VII Bahasa Pengantar Pasal 33 (1) Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. (2) Bahasa
daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan
apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan
tertentu. (3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan
pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
Bab VIII Wajib Pelajar Pasal 34 (1) Setiap warga negara yang
berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan
tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (4) Ketentuan mengenai wajib belajar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bab IX Standar Pendidikan
Nasional Pasal 35 (1)
Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan,
dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. (3)
Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi,
penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. (4) Ketentuan mengenai standar
nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bab X Kurikulum Pasal 36 (1) Pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak
mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman
potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f.
tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h.
agama; i. dinamika perkembangan global; dan j.persatuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 37 (1) Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c.
bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g.
seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan;
dan muatan lokal. (2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan
agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa. (3) Ketentuan mengenai
kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 38 (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah.
(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studi. (4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
Bab XI Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Pasal 39 (1)
Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan. (2) Pendidik merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40 (1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a. penghasilan
dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b. penghargaan sesuai
dengan tugas dan prestasi kerja; c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan
pengembangan kualitas; d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak
atas hasil kekayaan intelektual; dan e. kesempatan untuk menggunakan sarana,
prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
tugas. (2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: a. menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;
dan c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan
sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pasal 41 (1) Pendidik dan
tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. (2) Pengangkatan,
penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga
yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal. (3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu. (4) Ketentuan mengenai pendidik dan
tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42 (1) Pendidik harus
memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang
pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. (3) Ketentuan
mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43 (1) Promosi dan
penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar
belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang
pendidikan. (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang
memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. (3)
Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Pasal 44 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan
mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (2) Penyelenggara pendidikan oleh
masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan yang diselenggarakannya. (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Bab XII Sarana dan Prasarana Pasal 45 (1) Setiap satuan pendidikan
formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan
pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. (2) Ketentuan
mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bab XIII Pendanaan Pendidikan Bagian Kesatu Tanggung Jawab Pendanaan
Pasal 46 (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (2) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. (3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Bagian Kedua Sumber Pendanaan Pendidikan Pasal 47 (1) Sumber
pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan. (2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan
sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian
Ketiga Pengelolaan Dana Pendidikan Pasal 48 (1) Pengelolaan dana pendidikan
berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas
publik. (2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (2) Gaji guru dan dosen
yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah
Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah
kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bab XIV Pengelolaan Pendidikan Bagian Kesatu Umum Pasal 50 (1)
Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. (2)
Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional. (3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional. (4) Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. (5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola
pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal. (6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki
otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. (7) Ketentuan mengenai
pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Pasal 51 (1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. (2)
Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. (3) Ketentuan
mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 52 (1)
Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat. (2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan
pendidikan nonformal sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Badan Hukum Pendidikan Pasal 53 (1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan
diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Bab XV Peran Serta Masyarakat
Dalam Pendidikan Bagian Kesatu
Umum Pasal 54 (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pendidikan Berbasis Masyarakat Pasal 55 (1)
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan
sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan
berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional
pendidikan. 27 (3) Dana penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat
dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil
dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. (5) Ketentuan mengenai
peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah Pasal 56 (1) Masyarakat berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah. (2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang
tidak mempunyai hubungan hirarkis. (3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga
mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. (4) Ketentuan mengenai
pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bab XVI Evaluasi, Akreditasi,
dan Sertifikasi Bagian Kesatu
Evaluasi Pasal 57 (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (2) Evaluasi dilakukan
terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan
nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Pasal 58 (1)
Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program
pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh,
transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap
pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. (2) Masyarakat
dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk
melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. (3) Ketentuan mengenai
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Akreditasi Pasal 60 (1) Akreditasi
dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. (2)
Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka. (4)
Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga
Sertifikasi Pasal 61 (1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi
belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3) Sertifikat
kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada
peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. (4)
Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bab XVII Pendirian Satuan
Pendidikan Pasal 62 (1)
Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh
izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah. (2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin
meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem
evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan abproses
pendidikan. (3) Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin
pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Pasal 63 Satuan pendidikan yang didirikan dan
diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan
ketentuan Undang-undang ini.
Bab XVIII Penyelenggaraan
Pendidikan Oleh Lembaga Negara Lain
Pasal 64 Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di
wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia, bagi peserta didik warga negara
asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan
atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 65 (1) Lembaga pendidikan
asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Lembaga pendidikan asing pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan
kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia. (3) Penyelenggaraan
pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan
pengelola Warga Negara Indonesia. (4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan
sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang
berlaku. (5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bab XIX Pengawasan Pasal 66 (1) Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan pengawasan
atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai
dengan kewenangan masing-masing. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. (3)
Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bab XX Ketentuan Pidana Pasal 67 (1) Perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). (2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan
ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Penyelenggara pendidikan yang
memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Penyelenggara
pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Pasal 68 (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan
yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang
tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). (3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai
dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan
sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 69 (1) Setiap
orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah
dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan
ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). Pasal 70 Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan
gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bab XXI Ketentuan Peralihan Pasal 72 Penyelenggara atau satuan
pendidikan formal yang pada saat Undang-undang ini diundangkan belum berbentuk
badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai
dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan. Pasal
73 Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua
tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat
Undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin. Pasal 74 Semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undangundang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor
6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya
Undang- undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum
diganti berdasarkan Undang-undang ini.
Bab XXII Ketentuan Penutup Pasal 75 Semua peraturan
perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini harus
diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang
ini. Pasal 76 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan
tidak berlaku. Pasal 77 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003 Presiden Republik
Indonesia, ttd. Megawati
Soekarnoputri.
Diundangkan di Jakarta
pada Tanggal 8 Juli 2003 Sekretaris Negara Republik Indonesia, Bambang Kesowo
Sistem Pendidikan Nasional. Warga Negara. Masyarakat. Pemerintah. Pemerintah
Daerah. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301
F. Keuntungan Diberlakukannya UU Sisdiknas dan Kaitannya dengan Islam Banyak
sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU
SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, diantaranya : a. Tujuan Pendidikan Nasional
sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai Al Quran yang
menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan
bertaqwa (pasal 3). b. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non
Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan
mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut
dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a) c.
Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam sistem pendidikan
nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18) d. Pendidikan keagaamaan seperti
Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena
pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat
tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30). e. Pendidikan Agama
diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi
(Pasal 37). G. Standar Nasional Pendidikan a. Standar nasional pendidikan terdiri
atas standardisasi proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala. b. Standar nasional pendidikan
digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. c. Pengembangan standar nasional
pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional
dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar