Selasa, 05 Januari 2016

Pendidikan Berbasis Masyarakat



A.      Pendidikan berbasis masyarakat (CBE)
Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan impelementasi dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai            kebutuhan masyarakat.
Pendidikan Berbasiskan Masyarakat/Community Based Education (PBM) atau (CBE) terdiri dari tiga kata, yaitu pendidikan, berbasiskan dan masyarakat. Pendidikan adalah pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dalam arti luas; artinya pendidikan yang diselenggarakan baik secara sekolah/dulu biasa disebut formal, atau yang diselenggarakan sebagai kursus/di luar sekolah, atau latihan/ magang untuk memperoleh ke-terampilan, dahulu disebut non-formal, maupun pendidikan yang dicontohkan dalam kegiatan-kegiatan dan/atau dituturkan di dalam budaya masyarakat, sebelum ini disebut informal. Berbasiskan berarti “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Masyarakat adalah sebuah kelompok yang hidup dalam daerah khusus (bisa bersifat setempat/lokal/regional atau nasional) yaitu orang-orang yang memiliki harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan tanggungjawab.
Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S, 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat. Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika.
Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan Dr. Arief Rahman  adalah:
1)   Pembiasaaan atau penyimpanganarah pendidikan dari tujuan pokoknya.
2)   Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
Sedangkan menurut Surya, M., 2002 (3) salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah. Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan  masyarakat             yang seharusnya menjadi  konsen utama mereka,seperti:
a.         Alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi (kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir) kekurangan tenaga medic (jururawat) dan paramedik, sehingga terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu.
b.        Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab/Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni.
c.         Sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya. Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat   tersebut.
Menurut E. Muyasa hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain sebagai berikut:
1)   Memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak.
2)   Memperkukuh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat.
3)   Menggairahkan masyarak untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
Undang-undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan yang tertuang pada pasal 54 ayat (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profisi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam menyelenggarakan dan pengendalian mutu pada satuan pendidikan. Ayat (2) masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pelaksanaan dan pengguna hasil pendidikan.
Demikian pula pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana yang tertuang pada pasal 55 ayat (1) masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat ayat (2) penyelenggaraan pendidikan berbasis mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan. Ayat (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggaraan, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; ayat (4) lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan tekhnis, subsidi dana dan sumbe daya lain secara adil dan merata dari pemerintah atau pemerintah daerah.

B.       Implementasi pendidikan berbasis masyarakat.
Lembaga Pendidikan berbasis Masyarakat pada jalur pendidikan formal dan non formal dapat memperoleh bantuan teknis, Subsidi dana dan Sumber daya lain yang tata cara mengenai bantuan teknis,subsidi dana, dan sumber daya    lainnya.
a)        Bantuan teknis, yaitu penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat berupa bantuan tenaga ahli serta pendidikan  atau pelatihan  pendidik  dan  tenaga kependidikan.
b)        Subsidi dana penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat yang bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah berupa biaya operasi.
c)        Sumber daya lain dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat berupa pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan dan sarana dan prasarana pendidikan.
Secara adil dan merata     dari pemerintah atau pemerintah daerah. Langkah Strategi Reposisi Pendidikan Berbasis Masyarkat adalah bagaimana aktualisasi pemerintah dalam menggalakan pendidikan berbasis Masyarakat dan Reaktifasi Masyarakat dalam mensukseskan pendidikan tersebut.
a.    Bagaimana peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat? 
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U.2001 adalah :
1.    Pelayan  Masyarakat
Dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, cepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai focus pelayanan utama.
2.    Fasilitator
Pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
3.    Pendamping   masyarakat
     Pemerintah menjadi pendamping masyarkat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa (bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat(Ingngarsa sung tulodo).


4.    Mitra
Apabila kita berangkat dari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan    kreativitas masyarakat.
5.    Penyandang   Dana
Pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermata pencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat.
b.   Bagaimana partisipasi Masyarakat dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis       Masyarakat?
Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena itulah gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah dan para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggung jawab kepada komite tersebut.
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah atau madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah.
Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen. Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peninntagkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akubilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.
Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga,masyarakat dan pemerintah.
Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.


C. Kendala dalam Implementasi pendidikan berbasis masyarakat.
     Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S.,2004 adalah :
1)   Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut   pemerintah masih dari atas ke bawah (topdown).
2)   Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
3)   Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
4)   Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
5)   Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani atau kebendaan.
6)   Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
7)   Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang  seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku  seperti  birokrat.
8)   Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
9)   Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
10)    Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

D.   Langkah Penanggulangan Masalah
Secara ideal, dunia pendidikan harus mampu berjalan beriringan dengan dunia luar. Akan tetapi kita juga tahu bahwa dengan komitmen pemerintah yang buruk dalam hal dana pendidikan baik pada masa lalu dan masa kini maka idealisme tersebut masih jauh dari impian. Karenanya beberapa loncatan pemikiran untuk penanggulangan masalah tersebut harus dilakukan.
Berikut ada beberapa pemikiran yang menurut penulis dapat dilaksanakan pada masa dekade sekarang ini :
a.        Partisipasi masyarakat
Salah satu pendekatan yang ada hubungannya dengan partisipasi menyatakan bahwa manusia mempunyai dinamika internal dan kapasitas yang tak terbatas untuk membantu dirinya dan untuk berhubungan secara positif dengan lingkungannya, apabila dikembangkan melalui perlakuan yang akurat dan dapat dipercaya. Selain itu, partisipasi juga disadari memiliki banyak arti.
Partisipasi dapat berarti bahwa pembuat keputusan mengikutsertakan kelompok atau masyarakat luas terlibat dalam bentuk saran, pendapat, barang, keterampilan, bahan atau jasa. Partisipasi juga dapat berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan sendiri, membuat keputusan dan memecahkan permasalahan mereka sendiri. Dalam konteks partisipasi, Illich (1983) menyatakan bahwa rakyat biasa harus mampu bertanggungjawab atas kepentingan dan kesejahteraan sendiri.
Oleh karena itu, rakyat harus diberi kesempatan untuk ikut bertanggungjawab dalam semua bidang kehidupan baik dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi, perencanaan pembangunan dll. Sedangkan Paulo Freire (1973) menyatakan bahwa elit pembuat keputusan harus menyadari pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bertitik tolak dari pandangan ini, pemahaman tentang konsep partisipasi perlu diperluas tidak hanya ditekankan dalam bentuk pemberian dana, barang sebagai masukan instrumental, melainkan perlu dikembangkan pula berbagai bentuk partisipasi lain seperti paritipasi dalam hal waktu, pemikiran dan gagasan, kepercayaan dan kemauan.
       Rugh dan Bossert (1998:141) menyatakan bahwa masyarakat dan keluarga dapat diajak untuk berpartisipasi dalam masalah pendidikan atau berinteraksi dalam dua belas langkah berikut ini :
1.        Advokasi pendaftaran dan pendidikan manfaat
2.        Memastikan siswa kehadiran yang teratur dan penyelesaian
3.        Membangun, memperbaiki, dan meningkatkan fasilitas
4.        Berkontribusi dalam bentuk tenaga kerja, bahan, tanah dan dana
5.        Mengidentifikasi dan mendukung calon guru lokal
6.        Membuat keputusan tentang lokasi sekolah dan jadwal
7.        Pemantauan dan menindaklanjuti guru dan siswa kehadiran
8.        Pembentukan komite pendidikan untuk mengelola sekolah
9.        Menghadiri pertemuan sekolah untuk mengetahui tentang pekerjaan anak-anak
10.    Memberikan instruksi keterampilan untuk tahu tentang pekerjaan anak-anak
11.    Membantu anak-anak belajar dengan
12.    Mengumpulkan lebih banyak sumber daya dan memecahkan masalah melalui birokrasi pendidikan.


b.   Pendekatan Sistem Sebagai Indikator PBM atau CBE
Kalau ditinjau secara pendekatan sistem yang mempergunakan tiga aspek masukan, proses dan keluaran sebagai titik pengkristalan, maka masukan PBM atau CBE adalah peserta didik yang datang dari masyarakat, proses pendidikan PBM atau CBE terjadi di dalam masyarakat itu, dengan masukan sumberdaya dan masukan lingkungan, asalnya terutama dari masyarakat itu sendiri, serta keluarannya berlangsung di dalam masyarakat itu. Yang ditekankan dalam hal ini adalah bahwa mestinya tanggungjawab pendidikan masyarakat itu adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat setempat adalah stakeholder utama dari pendidikan di tempat itu.
Masyarakat setempat bukan hanya sebagai penonton yang kadang-kadang diundang dalam permainan. Mestinya mereka itu berhak untuk menjadi pemain, bahkan menjadi pemain utama. Itu akan lebih jelas bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini. Selama ini, pendidikan seolah-olah adalah pendidikan Pemerintah, masyarakat hanyalah klien/pelanggan belaka, ataupun dapat dikatakan konsumer pendidikan sematamata. Masyarakat kadang-kadang dilibatkan, diundang ikut dalam kegiatan pendidikan (community involvement), tetapi tidak berperan serta (community participation).
Berikut ini disajikan contoh indikator PBM atau CBE yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal maupun nasional :
1.        Penurunan angka anak usia sekolah yang tidak bersekolah.
2.        Pengurangan ketimpangan antar wilayah atau antar kelompok sosial ekonomi dalam masyarakat.
3.        Pengurangan ketimpangan sebaran guru, sistem insentif, dan mutasi guru.
4.        Peningkatan sarana/prasarana pendidikan.
5.        Peningkatan Sosial ekonomi anak-anak lingkungan ekonomi rendah.
6.        Peningkatan kesadaran orangtua dalam hal membantu anaknya belajar.
7.        Peningkatan kesadaran anak akan daya tarik bidang studi tertentu.
8.        Peningkatan kemampuan guru dalam pendayagunaan alat dan sumber pendidikan.
9.        Pendokumentasian sumberdaya pendidikan.
10.    Penetapan kebutuhan sumberdaya pendidikan sesuai dengan identifikasi dan rumusan
   kebutuhan pendidikan setempat.
11.    Identifikasi perorangan, kelompok atau badan/lembaga yang potensial dengan berbagai jenis tertentu sumberdaya pendidikan.



c.         Tanggungjawab Pendidikan
Dalam hal tanggungjawab dapat diperiksa kembali komponen dari sistem pendidikan. Tentu ada sistem pendidikan lokal sekolah, kursus atau pelatihan, yang dapat disebut sistem institusional dan ada pula sistem pendidikan daerah tingkat dua dan selanjutnya sistem pendidikan nasional. Sayangnya sampai sekarang yang sudah ada UUnya baru Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Dalam mewujudkan otonomi pendidikan daerah, mestinya SPN tadi dilengkapi dengan UU baru atau UU tentang Otonomi Pendidikan Daerah.
Selama ini pendidikan yang diselenggarakan swasta pun, masukan-masukannya masih ditentukan dari pusat, hanya penyelenggaraannya, terutama pembiayaannya yang dipikul hampir seluruhnya oleh penyelenggara pendidikan swasta tersebut. Di sini letaknya kepelikan otonomi pendidikan dasar dan menengah itu. Ditambah lagi dengan tiga jenjang persekolahan: pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Apakah semuanya diotda kabupatenkan?
Di dalam PBM atau CBE seyogianya yang mengetahui kebutuhan pendidikan bagi warganya adalah masyarakat itu : berapa warganya yang harus ditampung di SD dan SLTP atau Pendidikan Dasar, berapa yang harus ditampung di pendidikan menengah, berapa yang perlu ditampung di dalam kursus-kursus dan lain sebagainya. Berapa ruang yang diperlukan dan/atau berapa gedung yang diperlukan dan di mana harus ditempatkan, berapa biaya yang diperlukan, berapa guru dan tenaga lain yang dibutuhkan seharusnya lebih diketahui oleh masyarakat setempat. Tentu untuk itu semua diperlukan data dan informasi yang akurat.
Yang menjadi masalah paling pelik adalah tanggung jawab keuangan. Meskipun disebut otonomi pendidikan termasuk di dalam otonomi daerah tingkat dua, namun harus dikatakan bahwa pendidikan sebenarnya adalah tanggungjawab bersama sebagai bangsa. Sebagai bangsa kita bertekad untuk mengadakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun bagi semua warga. Itu berarti tidak hanya bagi daerah/masyarakat yang mampu, tetapi juga bagi daerah yang kurang kapasitasnya untuk itu. Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme di mana yang kaya membantu yang lemah; mungkin inilah yang harus pula termasuk ke dalam perimbangan keuangan di antara pusat dan daerah. Apakah itu diatur dengan alokasi umum atau alokasi khusus. Apakah grant berdasar jumlah siswa atau jumlah penduduk dan luas daerah; apakah untuk semua peserta didik ataukah hanya yang di negeri saja?.
Di sini akan disebut beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat untuk dapat menyelenggarakan PBM atau CBE dalam hal perencanaan:Masyarakat seharusnya dapat melaksanakan apa yang diistilahkan sebagai ‘micro planning’, artinya tidak lagi berencana sebagai orang pusat yang tentunya berencana secara kasar untuk daerah, ‘macro planning’ :
1.        Harus punya data penduduk dengan umur yang sangat terpercaya;
2.        Harus dapat mengidentifikasi potensi sumberdaya dan dana yang tersedia;
3.        Seharusnya punya tenaga yang punya kemampuan untuk merencanakan pendidikan di daerah. Perencanaan pendidikan di daerah dengan wilayah yang lebih sempit (micro planning) tidak lebih mudah dari perencanaan makro. Di sini dibutuhkan lebih banyak variabel untuk menyusun rencana yang sungguh tepat memenuhi kebutuhan. Sebenarnya perencanaan pendidikan dapat pula memberi sumbangan kepada perencanaan wilayah, misalnya penentuan sebuah desa, kecamatan dan seterusnya. Ambil contoh; mestinya sesuatu desa yang normal harus punya 1 SD, pada hal sebuah SD normal seharusnya punya 180 sd 300 murid. Jika suatu desa hanya punya 200 KK, maka sukar untuk dapat ditetapkan sebagai satu desa. Demikianpun untuk sebuah kecamatan seharusnya mempunyai paling tidak sebuah SLTP yang diberi masukan peserta didik paling kurang dari 5 SD; jadi sesuatu kecamatan yang mempunyai hanya 3 desa tentu tidak efisien, dan seterusnya. Di samping itu diperlukan apa yang disebut ‘educational mapping’ untuk sesuatu kecamatan atau kabupaten untuk sungguh-sungguh dapat membuat pendidikan di daerah tersebut efisien dan bermutu.
       Educational mapping dapat disamakan dengan perencanaan tata ruang pendidikan; setelah mengetahui jumlah dan umur penduduk, juga digambarkan persebaran penduduk dalam desa tersebut; digambarkan pula jalan-jalan yang menghubungkan persebaran penduduk; diperkirakan di mana akan diletakkan SD. Kemudian dilihat situasi kecamatan, di mana akan diletakkan SLTP, berapa feeder-school SD yang diperlukan untuk setiap SLTP; berapa SLTP yang perlu dibangun; kemudian diperhatikan situasi Kabupaten dan ditentukan berapa SM (Umum dan Kejuruan) dibutuhkan dan di mana akan ditempatkan.Semua kegiatan ini dilakukan untuk mengoptimalkan efisiensi serta mutu dari pendidikan. Karena itu dibutuhkan sumber daya dan dana, serta diperlukan standar-standar pendidikan untuk dapat mencapai mutu yang diharapkan. Menjadi persoalan besar bagi daerah, apakah SD yang terlalu banyak dengan murid terlalu sedikit perlu digabung demikian seterusnya, sehubungan dengan efisiensi dan mutu pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar