A. Pendidikan berbasis masyarakat (CBE)
Konsep
Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan impelementasi dari masyarakat, oleh
masyarakat, dan untuk masyarakat. Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa
Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat
dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya
partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk
mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing
dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Pendidikan
Berbasiskan Masyarakat/Community Based Education (PBM) atau (CBE) terdiri dari tiga kata, yaitu pendidikan, berbasiskan dan masyarakat.
Pendidikan adalah pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat dan untuk
masyarakat. Dalam arti luas; artinya pendidikan yang diselenggarakan baik
secara sekolah/dulu biasa disebut formal, atau yang diselenggarakan sebagai
kursus/di luar sekolah, atau latihan/ magang untuk memperoleh ke-terampilan,
dahulu disebut non-formal, maupun pendidikan yang dicontohkan dalam
kegiatan-kegiatan dan/atau dituturkan di dalam budaya masyarakat, sebelum ini
disebut informal. Berbasiskan berarti “berdasarkan pada” atau “berfokuskan
pada”. Masyarakat adalah sebuah kelompok yang hidup dalam daerah khusus (bisa bersifat
setempat/lokal/regional atau nasional) yaitu orang-orang yang memiliki harapan
dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia walaupun mereka mempunyai
perbedaan dalam status sosial, peranan dan tanggungjawab.
Dengan
demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas
(pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S, 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab
kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap
masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan
berbasis pada masyarakat. Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila
kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa
problematika.
Beberapa
problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan Dr. Arief
Rahman adalah:
1)
Pembiasaaan
atau penyimpanganarah pendidikan dari tujuan pokoknya.
2)
Pergeseran
fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat
kecerdasan nalar.
Sedangkan menurut Surya, M., 2002 (3) salah satu problematika pendidikan di
Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja
pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih
komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh
masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil
pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya
saing yang rendah. Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan
kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen
utama mereka,seperti:
a.
Alumni
kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam
berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi
dengan ironi (kejadian
atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya
terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir) kekurangan tenaga medic (jururawat) dan paramedik, sehingga terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu.
b.
Kesulitan
untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan
Kab/Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita
pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak
alumni.
c.
Sangat
ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan
ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus,
mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya.
Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral
dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak
compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem
pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak
berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial
budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui
proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan
kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Menurut E. Muyasa hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain
sebagai berikut:
1)
Memajukan
kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak.
2)
Memperkukuh
tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat.
3)
Menggairahkan
masyarak untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
Undang-undang
Republik Indonesia no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tentang
peran serta masyarakat dalam pendidikan yang tertuang pada pasal 54 ayat (1)
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profisi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan
dalam menyelenggarakan dan pengendalian mutu pada satuan pendidikan. Ayat (2)
masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pelaksanaan dan pengguna hasil
pendidikan.
Demikian
pula pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana yang tertuang pada pasal 55
ayat (1) masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan
sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat ayat (2) penyelenggaraan
pendidikan berbasis mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional
pendidikan. Ayat (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat
bersumber dari penyelenggaraan, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan atau
sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; ayat (4) lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh
bantuan tekhnis, subsidi dana dan sumbe daya lain secara adil dan merata dari
pemerintah atau pemerintah daerah.
B. Implementasi pendidikan berbasis masyarakat.
Lembaga Pendidikan berbasis Masyarakat pada jalur pendidikan formal dan non
formal dapat memperoleh bantuan teknis, Subsidi dana dan Sumber daya lain yang
tata cara mengenai bantuan teknis,subsidi dana, dan sumber daya lainnya.
a)
Bantuan
teknis, yaitu penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis
masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat berupa bantuan tenaga
ahli serta pendidikan atau pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan.
b)
Subsidi dana
penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat yang
bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah berupa biaya operasi.
c)
Sumber daya
lain dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat
dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat berupa pengadaan pendidik dan
tenaga kependidikan dan sarana dan prasarana pendidikan.
Secara adil dan merata dari pemerintah
atau pemerintah daerah. Langkah Strategi Reposisi
Pendidikan Berbasis Masyarkat adalah bagaimana aktualisasi pemerintah dalam
menggalakan pendidikan berbasis Masyarakat dan Reaktifasi Masyarakat dalam
mensukseskan pendidikan tersebut.
a. Bagaimana
peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam
menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut
Sihombing, U.2001 adalah :
1.
Pelayan Masyarakat
Dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan
pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan
kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua
aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat
tanggap, cepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta
dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai focus pelayanan utama.
2.
Fasilitator
Pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan
masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi
masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu
memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu
menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa
terbebani.
3.
Pendamping masyarakat
Pemerintah menjadi pendamping
masyarkat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan
dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia
dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan
kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai
pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat
dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah
tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila
akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing
madya mangun karsa (bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat),
dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan
masyarakat(Ingngarsa sung tulodo).
4.
Mitra
Apabila kita berangkat dari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat
sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam
pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur
yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin
tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah
harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak
berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan
menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.
5.
Penyandang Dana
Pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya
adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar
untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti
bermata pencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar
untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan
dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana
yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat.
b. Bagaimana
partisipasi Masyarakat dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?
Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai
program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini
lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan
kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Apalagi
saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena
itulah gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai
semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi
masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan
tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah dan para
penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan
bertanggung jawab kepada komite tersebut.
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan
pendidikan dan komite sekolah atau madrasah.
Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur
masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah atau madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli
pendidikan. Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Sedangkan peningkatan
mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi
tanggungjawab komite sekolah/madrasah.
Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara
pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada
Dirjen Dikdasmen. Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh
Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman
Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk
mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peninntagkatan mutu
pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan
akubilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.
Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya
optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting
lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak
jelas sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang
tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan
serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah.
Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari
keluarga,masyarakat dan pemerintah.
Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan
menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk
belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau
penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.
C. Kendala
dalam Implementasi pendidikan berbasis masyarakat.
Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut
Sagala, S.,2004 adalah :
1)
Sistem
perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (topdown).
2)
Kurangnya
kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
3)
Sikap
Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
4)
Karakteristik
kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan
yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
5)
Sikap
masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih
tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani atau kebendaan.
6)
Budaya
menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
7)
Tokoh
panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang
seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti
birokrat.
8)
Lembaga
sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
9)
Keterbatasan
anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
10)
Egoisme
sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang
kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan
berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.
D. Langkah Penanggulangan Masalah
Secara
ideal, dunia pendidikan harus mampu berjalan beriringan dengan dunia
luar. Akan tetapi kita juga tahu bahwa dengan komitmen pemerintah yang
buruk dalam hal dana pendidikan baik pada masa lalu dan masa kini maka
idealisme tersebut masih jauh dari impian. Karenanya beberapa loncatan
pemikiran untuk penanggulangan masalah tersebut harus dilakukan.
Berikut ada
beberapa pemikiran yang menurut penulis dapat dilaksanakan pada masa dekade
sekarang ini :
a.
Partisipasi
masyarakat
Salah satu
pendekatan yang ada hubungannya dengan partisipasi menyatakan bahwa manusia
mempunyai dinamika internal dan kapasitas yang tak terbatas untuk membantu
dirinya dan untuk berhubungan secara positif dengan lingkungannya, apabila
dikembangkan melalui perlakuan yang akurat dan dapat dipercaya. Selain itu,
partisipasi juga disadari memiliki banyak arti.
Partisipasi
dapat berarti bahwa pembuat keputusan mengikutsertakan kelompok atau masyarakat
luas terlibat dalam bentuk saran, pendapat, barang, keterampilan, bahan atau
jasa. Partisipasi juga dapat berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka
sendiri, mengkaji pilihan sendiri, membuat keputusan dan memecahkan
permasalahan mereka sendiri. Dalam konteks partisipasi, Illich (1983)
menyatakan bahwa rakyat biasa harus mampu bertanggungjawab atas kepentingan dan
kesejahteraan sendiri.
Oleh karena
itu, rakyat harus diberi kesempatan untuk ikut bertanggungjawab dalam semua
bidang kehidupan baik dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan,
transportasi, perencanaan pembangunan dll. Sedangkan Paulo Freire (1973)
menyatakan bahwa elit pembuat keputusan harus menyadari pentingnya partisipasi
masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bertitik tolak dari pandangan
ini, pemahaman tentang konsep partisipasi perlu diperluas tidak hanya
ditekankan dalam bentuk pemberian dana, barang sebagai masukan instrumental,
melainkan perlu dikembangkan pula berbagai bentuk partisipasi lain seperti
paritipasi dalam hal waktu, pemikiran dan gagasan, kepercayaan dan kemauan.
Rugh dan Bossert (1998:141) menyatakan bahwa masyarakat dan keluarga dapat
diajak untuk berpartisipasi dalam masalah pendidikan atau berinteraksi dalam
dua belas langkah berikut ini :
1.
Advokasi pendaftaran dan pendidikan manfaat
2.
Memastikan siswa kehadiran yang teratur dan
penyelesaian
3.
Membangun, memperbaiki, dan meningkatkan fasilitas
4.
Berkontribusi dalam bentuk tenaga kerja, bahan, tanah
dan dana
5.
Mengidentifikasi dan mendukung calon guru lokal
6.
Membuat keputusan tentang lokasi sekolah dan jadwal
7.
Pemantauan dan menindaklanjuti guru dan siswa
kehadiran
8.
Pembentukan komite pendidikan untuk mengelola sekolah
9.
Menghadiri pertemuan sekolah untuk mengetahui tentang
pekerjaan anak-anak
10. Memberikan
instruksi keterampilan untuk tahu tentang pekerjaan anak-anak
11. Membantu
anak-anak belajar dengan
12. Mengumpulkan
lebih banyak sumber daya dan memecahkan masalah melalui birokrasi pendidikan.
b. Pendekatan Sistem Sebagai Indikator PBM atau CBE
Kalau
ditinjau secara pendekatan sistem yang mempergunakan tiga aspek masukan, proses
dan keluaran sebagai titik pengkristalan, maka masukan PBM atau CBE adalah peserta didik yang datang dari masyarakat, proses pendidikan PBM atau CBE terjadi di dalam masyarakat itu, dengan masukan sumberdaya dan masukan
lingkungan, asalnya terutama dari masyarakat itu sendiri, serta keluarannya
berlangsung di dalam masyarakat itu. Yang ditekankan dalam hal ini adalah bahwa
mestinya tanggungjawab pendidikan masyarakat itu adalah masyarakat itu sendiri.
Masyarakat setempat adalah stakeholder utama dari pendidikan di tempat itu.
Masyarakat
setempat bukan hanya sebagai penonton yang kadang-kadang diundang dalam
permainan. Mestinya mereka itu berhak untuk menjadi pemain, bahkan menjadi
pemain utama. Itu akan lebih jelas bila dibandingkan dengan apa yang terjadi
selama ini. Selama ini, pendidikan seolah-olah adalah pendidikan Pemerintah,
masyarakat hanyalah klien/pelanggan belaka, ataupun dapat dikatakan konsumer
pendidikan sematamata. Masyarakat kadang-kadang dilibatkan, diundang ikut dalam
kegiatan pendidikan (community involvement), tetapi tidak berperan serta
(community participation).
Berikut ini
disajikan contoh indikator PBM atau CBE yang
dapat dilakukan oleh masyarakat lokal maupun nasional :
1.
Penurunan
angka anak usia sekolah yang tidak bersekolah.
2.
Pengurangan
ketimpangan antar wilayah atau antar kelompok sosial ekonomi dalam masyarakat.
3.
Pengurangan
ketimpangan sebaran guru, sistem insentif, dan mutasi guru.
4.
Peningkatan
sarana/prasarana pendidikan.
5.
Peningkatan
Sosial ekonomi anak-anak lingkungan ekonomi rendah.
6.
Peningkatan
kesadaran orangtua dalam hal membantu anaknya belajar.
7.
Peningkatan
kesadaran anak akan daya tarik bidang studi tertentu.
8.
Peningkatan
kemampuan guru dalam pendayagunaan alat dan sumber pendidikan.
9.
Pendokumentasian
sumberdaya pendidikan.
10. Penetapan kebutuhan sumberdaya pendidikan sesuai dengan identifikasi dan
rumusan
kebutuhan pendidikan setempat.
11. Identifikasi perorangan, kelompok atau badan/lembaga yang potensial dengan
berbagai jenis tertentu sumberdaya pendidikan.
c.
Tanggungjawab
Pendidikan
Dalam hal tanggungjawab dapat diperiksa kembali komponen dari sistem
pendidikan. Tentu ada
sistem pendidikan lokal sekolah, kursus atau pelatihan, yang dapat disebut sistem institusional dan ada pula sistem
pendidikan daerah tingkat dua dan selanjutnya sistem pendidikan nasional.
Sayangnya sampai sekarang yang sudah ada UUnya baru Sistem Pendidikan Nasional
(SPN). Dalam mewujudkan otonomi pendidikan daerah, mestinya SPN tadi dilengkapi
dengan UU baru atau UU tentang Otonomi Pendidikan Daerah.
Selama ini pendidikan yang diselenggarakan swasta pun, masukan-masukannya
masih ditentukan dari pusat, hanya penyelenggaraannya, terutama pembiayaannya
yang dipikul hampir seluruhnya oleh penyelenggara pendidikan swasta tersebut.
Di sini letaknya kepelikan otonomi pendidikan dasar dan menengah itu. Ditambah
lagi dengan tiga jenjang persekolahan: pendidikan dasar, pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi. Apakah semuanya diotda kabupatenkan?
Di dalam PBM atau CBE
seyogianya yang mengetahui kebutuhan pendidikan bagi warganya adalah
masyarakat itu : berapa
warganya yang harus ditampung di SD dan SLTP atau Pendidikan Dasar,
berapa yang harus ditampung di pendidikan menengah, berapa yang perlu ditampung
di dalam kursus-kursus dan lain sebagainya. Berapa ruang yang diperlukan
dan/atau berapa gedung yang diperlukan dan di mana harus ditempatkan, berapa
biaya yang diperlukan, berapa guru dan tenaga lain yang dibutuhkan seharusnya
lebih diketahui oleh masyarakat setempat. Tentu untuk itu semua diperlukan data
dan informasi yang akurat.
Yang menjadi masalah paling pelik adalah tanggung jawab keuangan. Meskipun
disebut otonomi pendidikan termasuk di dalam otonomi daerah tingkat dua, namun
harus dikatakan bahwa pendidikan sebenarnya adalah tanggungjawab bersama
sebagai bangsa. Sebagai bangsa kita bertekad untuk mengadakan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun bagi semua warga. Itu berarti tidak hanya bagi
daerah/masyarakat yang mampu, tetapi juga bagi daerah yang kurang kapasitasnya
untuk itu. Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme di mana yang kaya
membantu yang lemah; mungkin inilah yang harus pula termasuk ke dalam
perimbangan keuangan di antara pusat dan daerah. Apakah itu diatur dengan
alokasi umum atau alokasi khusus. Apakah grant berdasar jumlah siswa atau
jumlah penduduk dan luas daerah; apakah untuk semua peserta didik ataukah hanya
yang di negeri saja?.
Di sini akan
disebut beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat untuk dapat
menyelenggarakan PBM atau CBE dalam
hal perencanaan:Masyarakat seharusnya dapat melaksanakan apa yang diistilahkan
sebagai ‘micro planning’, artinya tidak lagi berencana sebagai orang pusat yang
tentunya berencana secara kasar untuk daerah, ‘macro planning’ :
1.
Harus punya
data penduduk dengan umur yang sangat terpercaya;
2.
Harus dapat
mengidentifikasi potensi sumberdaya dan dana yang tersedia;
3.
Seharusnya
punya tenaga yang punya kemampuan untuk merencanakan pendidikan di daerah.
Perencanaan pendidikan di daerah dengan wilayah yang lebih sempit (micro
planning) tidak lebih mudah dari perencanaan makro. Di sini dibutuhkan lebih
banyak variabel untuk menyusun rencana yang sungguh tepat memenuhi kebutuhan.
Sebenarnya perencanaan pendidikan dapat pula memberi sumbangan kepada
perencanaan wilayah, misalnya penentuan sebuah desa, kecamatan dan seterusnya.
Ambil contoh; mestinya sesuatu desa yang normal harus punya 1 SD, pada hal
sebuah SD normal seharusnya punya 180 sd 300 murid. Jika suatu desa hanya punya
200 KK, maka sukar untuk dapat ditetapkan sebagai satu desa. Demikianpun untuk
sebuah kecamatan seharusnya mempunyai paling tidak sebuah SLTP yang diberi
masukan peserta didik paling kurang dari 5 SD; jadi sesuatu kecamatan yang
mempunyai hanya 3 desa tentu tidak efisien, dan seterusnya. Di samping itu
diperlukan apa yang disebut ‘educational mapping’ untuk sesuatu kecamatan atau
kabupaten untuk sungguh-sungguh dapat membuat pendidikan di daerah tersebut
efisien dan bermutu.
Educational mapping dapat
disamakan dengan perencanaan tata ruang pendidikan; setelah mengetahui jumlah
dan umur penduduk, juga digambarkan persebaran penduduk dalam desa tersebut; digambarkan
pula jalan-jalan yang menghubungkan persebaran penduduk; diperkirakan di mana
akan diletakkan SD. Kemudian dilihat situasi kecamatan, di mana akan diletakkan
SLTP, berapa feeder-school SD yang diperlukan untuk setiap SLTP; berapa
SLTP yang perlu dibangun; kemudian diperhatikan situasi Kabupaten dan
ditentukan berapa SM (Umum dan Kejuruan) dibutuhkan dan di mana akan
ditempatkan.Semua kegiatan ini dilakukan untuk mengoptimalkan efisiensi serta
mutu dari pendidikan. Karena itu dibutuhkan sumber daya dan dana, serta
diperlukan standar-standar pendidikan untuk dapat mencapai mutu yang
diharapkan. Menjadi persoalan besar bagi daerah, apakah SD yang terlalu banyak
dengan murid terlalu sedikit perlu digabung demikian seterusnya, sehubungan
dengan efisiensi dan mutu pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar